Minggu, 13 Desember 2009

contoh makalah hukum


KATA PENGANTAR

 

      Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,yang telah melimpahkan rahmat,hidayah,serta karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini yang berjudul “Perbandingan Lembaga Negara Dalam Kewenangan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen ke- Empat”.

Karya tulis ini merupakan salah satu syarat untuk menyempurnakan nilai semester berdasarkan ketentuan dari dosen yang bersangkutan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tentu banyak kekurangan yang dapat ditemui,untuk itu penulis mengucapkan mohon maaf dan semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dalam dunia pendidikan,khususnya Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

        Akhirnya kepada Allah SWT penulis berserah diri semoga makalah ini di Ridhai-Nya dan bermanfaat bagi kita semua.

 

 

Yogyakarta,    Januari 2009

 

 

                                                                                      

                                                                                                    penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

                                                                  PENDAHULUAN

 

1.1                Latar Belakang Masalah

Latar belakang penulis menulis mengenai “Perbandingan Lembaga Negara dalam Kewenangan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Dasar 1945 Setelah Amandeman Keempat” adalah, yang pertama karena tema tersebut telah ditentukan oleh tim pengajar penulis untuk dianalisa dan diterbitkan dalam bentuk makalah. Dan penulis sendiri sangat tertarik pada topik ini agar bisa memahami lebih dalam Perbandingan lembaga Negara dalam Kewenangan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Dasar 1945 Setelah Amandeman Keempat. Oleh karena itu didalam makalah ini tim penulis membahas mengenai perbandingan lembaga negara dalam kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Dasar 1945 setelah Amandeman Keempat, hal-hal yang berkaitan, perbandingannya, serta teori-teori yang terkait.

 

1.2                Ruang Lingkup

Dalam Penulisan makalah ini, Penulis membatasi ruang lingkup penulisan hanya mengenai perbandingan lembaga negara dalam kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan menurut undang-undang dasar 1945 dan undang-undang dasar 1945 setelah amandeman keempat seperti yang sudah disebutkan pada Daftar isi, sehingga hasil pembahasannya nanti tidak menyimpang dari topik sebenarnya.

 

1.3                Tujuan Penulisan

1.                   Menyampaikan penjelasan mengenai perbandingan lembaga negara dalam kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan menurut undang-undang dasar 1945 dan undang-undang Dasar 1945 setelah Amandeman keempat. Selain itu makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan Tugas mata kuliah Ilmu Perundang-undangan.

2.                   Mengukur sejauh mana kemampuan Penulis dalam penulisan makalah dan mengkaji masalah perbandingan lembaga negara dalam kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan menurut undang-undang dasar 1945 dan Undang-undang Dasar 1945 Setelah Amandeman Keempat.

 

1.4                Pokok Permasalahan

1.             Apakah yang dimaksud dengan lembaga negara?

2.             Bagaimanakah perubahan UUD 1945 setelah Amandemen keempat?

    3.             Bagaimanakah analisis perbandingan UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen keempat?

                               

1.5                Pembatasan Masalah

1.             Pengertian Lembaga Negara          

2.             Perbandingan lembaga Negara dalam Kewenangan Pembentukan Peraturan PerUUan

3.             Analisa Perbandingan Lembaga Negara dalam Kewenangan Pembentukan Peraturan PerUUan sebelum dan sesudah Amandemen Keempat

 

1.6                Metode Penelitian

1.            Studi Pustaka.

2.             Media Elektronik (internet)

 

1.7                Manfaat Penulisan

1.             Dapat menambah pengetahuan.

2.             Melatih untuk mengidentifikasikan suatu permasalahan.

3.             Melatih mencari solusi dari suatu permasalahan.

4..            Sebagai salah satu syarat agar mendapatkan nilai semester.

5.              Dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi mahasiswa Universitas    Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sebagai bacaan khususnya tentang “Perbandingan Lembaga Negara dalam Kewenangan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Dasar 1945 Setelah Amandeman Keempat”

 

 

 

 

BAB II

 

ISI

 

                Sebelumnya, dalam hal ini penulis akan membahas mengenai kewenangan lembaga negara dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (formell gezets), yaitu lembaga DPR, Presiden, dan DPD. Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam makalah ini tidak penulis singgung karena tidak mempunyai kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dikarenakan Undang-Undang Dasar yang dihasilkan MPR merupakan staatsfundamentalnorm (pada pembukaan UUD 1945) dan staatsgrundgezets (pada batang tubuh UUD 1945), yang bukan merupakan formell gezets.

 

Negara republik Indonesia didirikan atas dasar teori bernegara Indonesia yang tumbuh dari kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan bangsa Indonesia sendiri. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia ialah suatu negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), dengan pengertian bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari negara berdasarkan hukum pada umumnya, namun disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, dengan menggunakan ukuran baik pandangan hidup maupun pandangan bernegara bangsa Indonesia.

 

Apabila kita simak ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya mengenai sistem pemerintahan negara  yang menetapkan bahwa Presiden sebagai Mandataris MPR wajib menjalankan GBHN yang telah ditetapkan oleh MPR, dan Presiden mempunyai kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan DPR.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945, pemegang kekuasaan di Indonesia adalah :

-                      kekuasaan eksekutif, dipegang oleh Presiden

-                      Kekuasaan legislatif, dipegang oleh Presiden dengan persetujuan DPR

-                      Kekuasaan yudikatif, dipegang oleh Mahkamah Agung dan Badan-badan Peradilan lain.

 

Dalam kekuasaan legislatif, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyerahkan pelaksanaannya kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat yang, bahwa kedua lembaga ini dalam membuat Undang-undang harus bekerja sama.

 

Kekuasaan legislatif ini diberikan berdasarkan prinsip opdracht van bevoegheid, dan ini membawa konsekuensi logis bahwa harus ada pertanggungan jawab dari badan legislatif kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Mandataris adalah bahwa Presiden dapat dipecat sebelum masa jabatannya habis.

 

2.1. Analisa Perubahan Mengenai Kewenangan Presiden

 

2.1.1 Sebelum Amandemen

 

Pasal 5

(1)         Presiden memegan kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2)         Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

 

 

Kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif merupakan “partner” bagi Dewan Perwakilan Rakyat, yang artinya Presiden bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam tugas legislatif yang antaranya adalah :

a.                   membuat Undang-undang

b.                   Menetapkan APBN

 

Walaupun kedudukan kedua lembaga itu sama dan sederajat, namun perumusan pasal di atas menempatkan Presiden pada peranannya yang lebih menonjol dari pada Dewan Perwakilan Rakyat dalam tugasnya di bidang legislatif. Membuat Undang-undang pada hakekatnya adalah membua suatu kebijaksanaan umum yang dilakukan oleh Presiden, karena dalam penyelenggaraan pemerintahan itu Presidenlah yang akhirnya bertanggung jawab kepada Majelis, maka kedudukan Presiden dalam praktek lebih menonjol dari Dewan Perwakilan Rakyat.

 

Dari pasal 5 ayat (1) UUD 45 sebelum Amandemen, dapat ditarik 2 (dua) kesimpulan, yaitu :

 

a.       Presiden pemegang kekuasaan pembentukan Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

 

Dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dikemukakan bahwa :

“Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Sedangkan dalam penjelasan mengenai pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan sebagai berikut : “Kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalanan legislative power dalam Negara.” Apabila kita membaca perumusan pasal 5 ayat (1) UUD 1945, dapat kita tafsirkan bahwa kekuasaan membentuk Undang-undang itu ada di tangan Presiden, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi memberikan persetujuan dalam arti menerima atau menolak setiap rancangan Undang-undang yang diajukan oleh presiden.

Adapun maksud dari perkataan bersama-sama dalam penjelasan pasal 5 ayat (1) UUD 1945, Presiden dalam menjalankan legislative power, yakni dalam hal pembentukan undang-undang, Presidenlah yang melaksanakan pembentukannya, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat melaksanakan (pemberian) persetujuannya dengan berbarengan, serentak, bersama-sama. Dengan demikian, menjadi jelas kewenangan pembentukan Undang-undang tetap pada Presiden, dan kewenangan pemberian persetujuan tetap pada Dewan Perwakilan Rakyat. Agar undang-undang itu dapat terbentuk, kedua kewenangan tersebut dialksanakan bersama-sama, berbarengan, serentak.

 

b.       Presiden tidak bertangungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat

 

Dalam membentuk Undang-undang (Gesetzgebung) dan untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Staatsbegroting), Presiden harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja bersama-sama dengan DPR, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung pada DPR.Namun, meskipun Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, kekuasaan Presiden tidak tak terbatas, karena ia bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat dan juga harus mmperhatikan dengan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.

 

 

 

 

 

2.1.2. Sesudah Amandemen Ke-4

 

Pasal 5

(1)     Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

(2)     Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

 

 

Ketentuan ini menggambarkan terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden. Sebelumnya, Presidenlah yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Sekarang, kekuasaan membentuk Undang-undang berdasarkan pasal 20 ayat (1) baru, justru berada di Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan dalam ayat di atas, Presiden hanya dinyatakan berhak mengajukan RUU kepada DPR.

 

Pada masa lalu sebelum UUD 1945 diamandemen, kekuasan presiden sangatlah besar. Bahkan dalam hal pembentukan undang-undang yang merupakan wilayah kewenangan dari lembaga legislatif, peran pemerintah sangat kuat, sehingga DPR kerap dijuluki sebagai institusi cap stempel ( rubberstamp ) pemerintah.

 

Pembatasan kekuasaan presiden dan wewenang DPR seperti yang tercantum dalam Amandemen Keempat UUD 1945 penulis nilai sudah sesuai karena DPR sekarang memiliki hak untuk memberikan pertimbangan, sehingga tidak ada kekuasaan prerogatif yang terlalu besar pada presiden. 

 

Pergeseran ini penulis nilai juga sebagai pembatasan dan pencegahan dari tindakan sewenang-wenang presiden dalam membentuk undang-undang. Dengan adanya amandemen ini, maka yang dapat Presiden lakukan hanyalah mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat, bukan berhak membentuk undang-undang. Hal ini juga dikaitkan kepada negara Indonesia yang merupakan negara demokrasi, dimana aspirasi rakyat sangat dijunjung tinggi, dan DPR merupakan sarana perwujudan aspirasi rakyat Indonesia, sehingga pembentukkan undang-undang harus lebih mementingkan suara dan aspirasi rakyat daripada keinginan Kepala Negara semata.

 

 

 

2.2. Analisa Perbandingan Kewenangan Pemerintah Daerah

 

2.2.1. Sebelum Amandemen

 

Pasal 18

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

 

Pada Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 dinyatakan bahwa oleh karena Negara Indonesia itu suatu “een heidstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di lingkungannya yang bersifat “staat” juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah Propinsi dan daerah propinsi dibagi juga ke dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat autonom, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat autonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

 

Mengenai Pemerintahan Daerah sebelum amandemen, pada pasal 18 UUD 1945 hanya menjelaskan mengenai adanya pembagian daerah-daerah di Indonesia yang susunan pemerintahannya ditetapkan undang-undang, serta adanya daerah-daerah yang bersifat otonom, tanpa menjelaskan kewenangan Pemerintah Daerah dalam menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan  tugas pembantuan (medebewind).

 

2.2.2. Sesudah Amandemen Ke-4

 

Pasal 18

(6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain  untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

 

 

Sesudah Amandemen ke-4, mengenai Pemerintahan Daerah diatur lebih rinci lagi serta ditambahkan ayat-ayat baru mengenai Pemerintahan Daerah tersebut. Dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

 

Yang dimaksud dengan “Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain” disini adalah Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah dan Peraturan pelaksanaannya, sepertu Keputusan Gubernur dan Keputusan Bupati/Walikota. Tentang Peraturan Daerah sendiri, berdasarkan Ketetapan MPR No.II/MPR/2000, mencangkup pengertin Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa. Disamping itu, dengan ditetapkannya Undang-undang tentang Daerah Otonomi Khusus Provinsi Papua, maka di Provinsi ini, selain adanya Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi), diperkenanlkan pula adanya Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) sebagai nomenklatur yang dipakai untuk melaksanakan atau mengatur dan menjabarkan lebih lanjut materi ketentuan Undang-undang tentang Otonomi Khusus tersebut.

 

 

2.3. Perbandingan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pembentukan Peraturan Per Undang-Undangan

 

2.3.1. Sebelum Amandemen

Pasal 20

(1)     Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2)     Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

(3)     Jika rancangan undang-undang itu tidakmendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan rakyat masa itu.

(4)     Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

(5)     Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

 

Dalam Amandemen Keempat UUD 1945 ini terlihat bahwa kekuasaan membuat UU sangat legislative heavy , dalam artian ada satu pasal yang mengatakan bahwa kalau dalam 30 hari rancangan undang-undang tidak ditandatangani presiden maka akan diberlakukan, akan tetapi tidak ada pasal yang menyatakan sebaliknya. Dalam Amandemen Keempat UUD 1945 tidak terdapat pasal yang mengatakan bahwa kalau Presiden mengajukan RUU, dalam 30 hari tidak disetujui parlemen, maka akan jadi UU. Dengan demikian hak vetonya hanya dimiliki oleh parlemen dan tidak oleh presiden.

 

Dewan Perwakilan Rakyat pemberi persetujuan kepada tuap Rancangan Undang-undang. Apabila kita melihat isi Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan Penjelasannya, serta uraian pada huruf D, maka pertanyaan selanjutnya yang dimaksud mengenai dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat adalah, dalam hal ini setiap rancangan undang-undang dari pemerintah itu tidak boleh dikesampingkan; Dewan Perwakilan Rakyat haruslah memberikan suu consent atau suatu kesepakatan dalam arti menolak atau menerima rancangan undang-undang tersebut. Dengan demikian, perkataan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat itu seharusnya diartikan dengan kesepakatan Dewan Perwakilan Rakyat atau dengan persesuaian Dewan Perwakilan Rakyat.

 

2.3.2. Sesudah Amandemen Ke-4

 

Pasal 20

(1)     Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undan-undang.

(2)     Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

(3)     Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

 

Dengan adanya perubahan ini, jelaslah bahwa kekuasaan legislatif yang semula utamanya dipegang oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dialihkan dan dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan Presiden hanya dinyatakan baerhak mengajukan RUU, bukan sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Perubahan ini merupakan pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden dan DPR.

Pada pasal 20 ayat (1) UUD 1945 ditentukan bahwa setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Artinya, RUU yang bersangkutan dapat saja dibahas sendiri-sendiri oleh DPR dan oleh Presiden secara terpisah, asalkan keduanya sama-sama dapat memberikan persetujuan terhadap RUU tersebut. Konseuensi penafsiran demikian ini tetntu dapat mempengaruhi prosedur pembahasan RUU yang diatur dalam peraturan tata-tertib DPR-RI. Jika RUU diajukan atas inisiatif pemerintah, maka pembahasan oleh DPR dapat dilakukan dengan menghkadirkan wakil pemerintah sebagai utusan Presiden untuk didengarkan keterangan atau penjelasannya berkenaan dengan materi usulan RUU yang bersangkutan. Akan tetapi, kedudukan wakil dalam forum DPR itu tentu bukan merupakan subjek yang mengambil keputusan. Jika dilakukan pemungutan suara, wakil pemerintah hanya dijadkan nara sumber yang tidak ikut memberikan suara. Jika wakil pemerintah mempunyai kepentingan maka kepentingan atau aspirasinya itu haruslah disalurkan melalui anggota DPR yang berasal dari partai pemerintah. Jika RUU yang bersangkutan adalh RUU inisiatif DPR, pembahasannya dilakukan sepenuhnya oleh DPR. Setelah RUU tersebut disetujui oleh Rapat Paripurna DPR, dan RUU tersebut diajukan kepada Presiden, barulah diadakan rapat bersama antara DPR dan wakil pemerintah. Akan tetapi dalam forum rapat bersama ini pihak yang berhadapan adalah DPR sebagai institusi dengan pemerintah sebagai institusi. Karena itu, DPR sudah menjadi satu suara yang berhadapan dengan pemerintah yang tidak dapat lagi memanfaatkan anggota DPR yang berasal dari partai pemerintah. Perbedaan pendapat diantara DPR dan pemerintah dalam hal ini bisa saja memakan waktu, tergantung pada perkembangan dukungan opini umum dalam masyarakat. Namun, secara hukum, pemerintah dapat saja menolak, menyetujui sebagian ataupun seluruh materi RUU tersebut, meskipun seluruh anggota DPR telah menyetujui RUU yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, sebelum RUU yang bersangkutan disetujui bersama oleh Presiden dan DPR, terlebih dahulu dapat dilakukan pembahasan :

(b)                  perancangan RUU secara sendiri-sendiri oleh Presiden/pemerintah atau oleh DPR,

(c)                  pembahasan oleh pemerintah terhadap RUU yang diajukan oleh DPR, pembahasan oleh DPR terhadap RUU yang diajukan oleh Pemerintah/Presiden,

(d)                  pembahasan bersama oleh institusi DPR sebagai satu kesatuan berhaapan dengan pemerintah dalam hal RUU tersebut berasal dari inisiatif DPR, atau

(e)                  pembahsan bersama antar anggota DPR bersama-sama dengan wakil pemerintah sebagai narasumber dalam hal RUU tersebut berasal dari inisiatif pemerintah[15]  

 

Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa :

(a)     Suatu RUU dapat saja tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah. Misalnya, pemerintah dapat menyatakan menolak untuk memberikan persetujan terhadap suatu materi atau seluruh materi yang bersangkutan. Demikian pula DPR dapat menyatakan menolak sebagian atau seluruh materi RUU yang diajukan oleh pemerintah, meskipun hal itu telah diadakan pembahasan bersama yang bertujuan mendapatkan persetujuan bersama;

(b)     RUU yang tidak mendapat persetujuan bersama tersebut, baik yang berasal dari inisiatif pemerintah ataupun inisiatif DPR, tidak dapat lagi dimajukan dalam masa persidangan yang bersangkutan. Hal ini dimasudkan untuk menjamin jangan sampai jadwal ketatanegaraan terganggu karenanya.

 

Pengesahan yang dimaksudkan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 bersifat administratif, yaitu pengundangan Undang-undang tersebut kedalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara yang menentukan efek pengumuman hukum (publication and promulgation of the law) dan daya ikat atau efektifitas legalitas undang-undang tersebut bagi para subjek hukum diaturnya.

 

Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 menegaskan bahwa :

(a)                             Presiden tidak boleh menolak kewajiban untuk mengundangkan RUU yang telah mendapat persetujuan bersama itu (pengesahan materiel) untuk mengesahkannya secara formil-administratif menjadi UU;

(b)                             Pengundangan itu

 

2.2.3. Sebelum amandemen

Pasal 21

(1)      Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan undang-undang.

(2)      Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

 

Dalam pasal 21 (1) UUD 1945 hanya disebutkan bahwa anggota DPR berhak mengajukan Rancangan Undang-undang. Kata “berhak” dalam pasal ini menganding arti dua pilihan, yaitu boleh atau mungkin tidak bersedia, yang kesemuanya tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Di sini sama sekali tidak ada keharusan.

 

Presiden berdasarkan Pasal 21 ayat (2) diberikan hak untuk menolak suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Penolakan ini dikatakan bahwa Presiden mempunyai kekuasaan semacam hak veto. Sebenarnya, Dewan Perwakilan Rakyat sendiri berhak untuk menolak Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden. Dalam setiap Rancangan Undang-Undang, kedua lembaga ini bekerja sama dilandasi musyawarah mufakat. Musyawarah inilah yang menyebabkan setiap perbedaan pendapat antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat diselesaikan dengan dilandasi sikap toleransi.

 

Dalam pasal 21 ayat (2) UUD 1945 yang menetapkan bahwa setiap rancangan Undang-undang yang tealh disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan pengesahan Presiden untuk menjadi Undang-undang, menempatkan Presiden pada posisi yang lebih kuat dari pada Dewan Perwakilan Rakyat. Jika Presiden menolak untuk mengesahkan suatu RUU  berarti bahwa RUU itu tidak menjadi Undang-undang. Hingga sekarang, belum dapat diketemukan suatu rancangan Undang-undang yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang ditolak pengesahannya oleh Presiden. Karena itu, maka fungsi Pasal 21 ayat (2) UUD 1945 hanya sebagai legalitas saja, bahwa sahnya suatu undang-undang ialah karena undang-undang itu telah ditandatangani oleh Presiden selaku kepala legislatif dalam sistem pemerintahan presidensiil yang dianut oleh UUD 1945.

 

 

2.2.4. Sesudah Amandemen Ke-4

 

Pasal 21

 

        Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.

 

Pasal ini secara tegas menjamin bahwa anggot DPR menurut syarat-syarat yang diatur dalam peraturan tata tertib dapat mengambil imisiatif untuk mengusulkan suatu rancangan undang-undang. Dengan demikian, inisiatif anggota Dewan tidak boleh lagi dihambat hanya karena fraksi partai politiknya tidak menghendaki sesuatu ketentuan diajukan menjadi rancangan undang-undang.

 

 

2.4. Perbandingan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam     Pembentukan Peraturan Per Undang-Undangan

 

Pasal 22 D

(1)     Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimabngan keuangnan pusat dan daerah.

(2)     Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan pengganbungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

 

Pada pokoknya, cabang kekuasaan legislatif berada di tangan DPR. Namun, sejauh menyangkut kepentingan daerah, seperti yang terkait dengan hal-hal yang disebut dalam pasal 22 D ayat (1) UUD 1945, maka DPD diberi hak inisiatif untuk mengajukan rancangan undang-undang. Akan tetapi, rancangan undang-undang itu tetap harus diajukan kepada DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Karena itu, bisa dikatakan keberadaan DPD hanyalah bersifat ’suplemen’.

 

Dalam pembahasan terhadap rancangan undang-undang yang disebut dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, baik atas inisiatif DPD, DPR ataupun atas inisiatif pemerintah, dilakukan oleh DPR dengan melibatkan peran serta anggota DPD. Tentu saja, berkenaan dengan prosedur pembahasan bersama ini masih harus diatur dalam Peraturan Tata Tertib, apakah persidangannya diadakan bersifat gabungan antara DPR dan DPD atau sendiri-sendiri sehingga pengertian pembahasan bersama atau ikut membahas dalam ayat ini dapat terpenuhi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KESIMPULAN

 

Dengan diadakannya Amandemen Keempat UUD 1945 telah membawa banyak sekali perubahan terhadap kewenangan lembaga-lembaga negara dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR. Sebelum amandemen, Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setelah adanya Amandemen keempat, Presiden hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR untuk disetujui DPR. Kini, Dewan Perwakilan Rakyatlah yang memegang kekuasaan membentuk Undang-undang, sesuai pasal 20 UUD 1945.

 

Lalu pada pasal 18 ayat (6) dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tuags pembantuan. Mengenai Dewan Perwakilan Daerah kini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 22 c dan Pasal 22 D, dimana dinyatakan bahwa Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dewan perwakilan Daerah juga ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada PDR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Amandemen keempat penulis nilai membawa banyak sekali perubahan, terutama dengan adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, dan diaturnya mengenai DPD dalam UUD 1945.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Kusnardi, Moh.,S.H. dan Ibrahim, Harmaily, S.H. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara. 1983

 

Soeprapto, Maria Farida Indrato, S.H., M.H. Ilmu Perundang Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 1998.

 

Asshiddiqie, Prof.DR. Jimly, SH. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat., hal.29.

 

Tim Redaksi Fokus Media. UUD’45 dan Amandemennya. Fokus Media. Bandung : 2004.

 

 Internet  “tentang ilmu negara”

 

 

 

0 komentar: