• This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

Sabtu, 29 April 2017

SKRIPSI HUKUM ( Pelaksanaan Pidana Penjara Pengganti Kerugian Negara Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Kelas IIA Yogyakarta) bagian isi

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam konsideran disebutkan bahwa korupsi sebagai jenis tindak pidana yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara serta dapat menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional, oleh karena itu segala macam perbuatan yang sifatnya merugikan keuangan negara perlu di kikis habis diantaranya adalah dengan cara memaksimalkan daya kerja dan daya paksa peraturan perundang-undangan yang ada melalui penegakan hukum.
Salah satu unsur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah kerugian uang negara. Terhadap kerugian uang negara ini, pemerintah membuat Undang-Undang Korupsi, baik yang lama yaitu Undang-Undang No 3 Tahun 1971 maupun Undang-Undang  yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, menetapkan kebijakan bahwa kerugian negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi.
Menurut Krisna Harahap, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”. Menurut Undang-Undang tersebut, pengembalian kerugian Negara dapat dilakukan melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen pidana dan instrumen perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh Penuntut Umum di tuntut agar dirampas oleh hakim. Instrumen perdata dilakukan oleh  Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau instansi yang dirugikan terhadap pelaku korupsi (tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya bila terpidana meninggal dunia). Instrumen pidana lebih lazim dilakukan karena proses hukumnya lebih sederhana dan mudah.
Dalam putusan Pengadilan, selain pidana pokok biasanya hakim juga memutuskan pidana tambahan berupa pidana uang pengganti kepada para terpidana kasus kejahatan korupsi. Pidana uang pengganti yang di hubungkan dengan jumlah masa tahanan terpidana, kadang kala tidak dipenuhi oleh terpidana, dimana mereka telah memilih pidana tambahan berupa kurungan ataupidana pengganti yang diputuskan oleh hakim yang dapat disebabkan oleh beberapa hal.
Istilah uang pengganti mengandung pengertian kepentingan perorangan atau individu, tetapi kepentingan publik atau kepentingan negara. Dalam hal ini dapat dikatakan criminal and punitive in their nature. Berbeda sifatnya, misalnya saja dengan tuntutan ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut atau di adili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan hukum, karena kekeliruan mengenai orangnya. Berbeda pula dengan gugatan ganti kerugian sebagai akibat perbuatan yang menjadi dasar  dakwaan yang dapat digabungkan kepada perkara pidana dalam Pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam hal ini, yang terkait adalah kepentingan individu, bukan kepentingan negara.
Terdakwa perkara korupsi yang telah terbukti dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi terbebas dari kewajiban untuk membayar uang pengganti apabila uang pengganti tersebut dapat dikompensasikan dengan kekayaan terdakwa yang dinyatakan dirampas untuk negara atau terdakwa sama sekali tidak menikmati uang tersebut, atau telah ada terdakwa lain yang telah dihukum membayar uang pengganti, atau kerugian negara masih dapat ditagih dari pihak lain. Tetapi uang pengganti bukan utang terdakwa (terpidana). Tidak ada hubungan keperdataan antara terdakwa (terpidana) yang telah merugikan negara sehingga negara perlu menggugat secara keperdataan baik atas dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Pidana uang pengganti adalah putusan hakim yang wajib serta merta dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum.Setiap kekayaan terdakwa dapat dikuasai negara untuk membayar uang pengganti. Pidana tambahan uang pengganti  yang di atur dalam Pasal 18 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta dalam penjelasan umum menyatakan “ Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara”. Pidana tambahan ini bertujuan untuk pemulihan kerugian akibat tindak pidana korupsi. Dalam prakteknya pelaksanaan putusan pengadilan terhadap uang pengganti ternyata banyak mengalami kendala karena terpidana tidak mau membayar, atau tidak mampu membayar dengan alasan harta bendanya sudah tidak ada lagi atau sudah tidak ada harta untuk disita dan memilih untuk menjalani pidana penjara pengganti. Adapun lama pidana penjara tersebut tidak akan melebihi ancaman pidana pokok.
Berdasarkan dengan uraian diatas mengenai pelaksanaan pidana tambahan berupa pidana penjara jika tidak membayar ganti kerugian negara atas korupsi yang telah dilakukan terpidana, maka dalam penulisan ini penulis tertarik untuk mengkaji hal tersebut lebih dalam dengan melakukan penelitian untuk penulisan skripsi yang  berjudul: “Pelaksanaan Pidana Penjara Pengganti Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan  Kelas IIA Yogyakarta”
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya yaitu pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan adalah yaitu:
Bagaimana mekanisme penjatuhan pidana penjara pengganti kerugian negara dalam tindak pidana korupsi?
Bagaimana pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta?
Apakah kendala-kendala dalam pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian dapat dikemukakan sebagai berikut:
Untuk mengetahui bagaimana mekanisme penjatuhan pidana penjara pengganti kerugian negara dalam tindak pidana korupsi.
Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara dalam tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta.
Untuk mengetahui  kendala-kendala dalam pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta.

Tinjauan Pustaka
Tindak Pidana Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio, dan disebutkan bahwa corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti corruption dan coorupt (Inggris), corruption (Prancis), dan Corruptie (Belanda), yang secara harfiah, menurut Sudarto (1976) mengatakan kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Korupsi, menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai jenis tindak pidana yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara serta dapat menghambat pembangunan nasional.
Kerugian negara yang dimaksud terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No.31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang berbunyi : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri  atau orang lain atau suatu koorporasi  yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Kalimat diatas dapat ditafsirkan menurut kehendak siapa saja yang membacanya tidak mendatangkan kepastian hukum kepada pencari keadilan dan penegak hukum, karena perbuatan atau peristiwa tersebut belum nyata atau belum tentu terjadi dan belum pasti jumlahnya.
Telah ada definisi Kerugian Negara yang menciptakan kepastian hukum, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat (22)  yang berbunyi sebagai berikut: Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya akibatnya perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Namun demikian, dalam masalah kerugian negara tersebut harus dibedakan antara kerugian negara sebagai akibat kesalahan dalam pengelolaan, dan kerugian negara sebagai akibat tindakan kecurangan/ penyalahgunaan kewenangan pejabat pengelola keuangan.Sedangkan yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung-jawaban pejabat, Lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun daerah.
Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung-jawaban Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan menjadi faktor penyebab mengapa korupsi masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, bahkan upaya pemberantasan korupsi tersebut telah dilakukan jauh sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya 2 (dua) ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi yang dihasilkan dalam kurun waktu antara tahun 1960 sampai dengan tahun 1998, yaitu :
Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Disamping kedua peraturan perundang-undangan tersebut, untuk memberantas korupsi juga telah dikeluarkan TAP MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.Dengan adanya TAP MPR ini, maka amanat telah diberikan negara kepada penyelenggara negara untuk memberantas tindak pidana korupsi. Sejak dikeluarkannya TAP MPR tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan serangkaian undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu :
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan melalui penetapan peraturan perundang-undangan tersebut di atas upaya lain yang dilakukan adalah dengan penetapan pembayaran uang pengganti korupsi. Uang pengganti merupakan salah satu upaya penting dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi di negara kita. Dapat dikatakan demikian karena uang pengganti merupakan suatu bentuk pengembalian kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan korup yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri.Upaya ini memberikan hasil yaitu berupa pemasukan ke kas negara dari hasil pembayaran uang pengganti dari beberapa terpidana yang telah di tetapkan jumlah pembayaran uang penggantinya. Uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam perkara korupsi harus dipahami sebagai bagian dari upaya pemidanaan terhadap mereka yang melanggar hukum. Dalam hal ini hukum yang dilanggar adalah tindak pidana korupsi.
Penjara Pengganti Kerugian Negara
Terlihat bahwa korupsi telah mengakibatkan pelaku memperoleh keuntungan finansial dan sebaliknya negara sebagai korban menderita kerugian finansial.Pada pokoknya korupsi telah mengakibatkan kemiskinan, sehingga pelaku korupsi harus dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undamg Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  ketentuan mengenai pembayaran uang pengganti  sangat tegas, yaitu apabila tidak dibayar dalam tempo 1 (satu) bulan, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan di lelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terhukum segera dieksekusi dengan memasukkannya ke dalam penjara.Hukuman penjara tersebut sudah ditentukan dalam putusan hakim, yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokoknya. Adapun definisi pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam semuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan tertib yang berlaku di dalam lembaga  pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Istilah penjara menurut Bambang Purnomo adalah tempat atau lembaga memidana seorang terpidana yang sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1873.Dinyatakan pula bahwa penjara dianggap kejam dan ganas karena sistem pemidanaan yang dilaksanakan mencakup pula pidana kerja paksa dan pidana fisik.Para terpidana dan narapidana tersebut sekaligus juga mengalami pengasingan dari lingkungan masyarakat, sehingga mengalami isolasi sosial secara total.
Tujuan dari pidana penjara adalah disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Dengan singkat tujuan pidana adalah kemasyarakatan. Jadi, di sini jelas bahwa dalam pelaksanaan pidana penjara tidak hanya bertujuan sebagai pembalasan saja melainkan juga harus disertai dengan pembinaan terhadap para terpidana dan pembinaan ini merupakan hal terpenting untuk orientasi ke depan. Sejak tahun 1964 penjara bagi suatu tempat untuk menjalankan pidana penjara sudah diganti dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan  bukansebagai suatu tempat yang semata-mata menghukum dan menderitakan orang. Akan tetapi suatu tempat untuk membina atau mendidik orang-orang yang telah berkelakuan menyimpang agar setelah menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dapat menjadi orang dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat.
Andi Hamzah mengatakan bahwa dalam rancangan KUHP nasional, tujuan pidana adalah mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana serta memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan juga membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Terdapat perbedaan pelaksanaan antara sistem pemasyarakatan dengansistem kepenjaraan.Sistem kepenjaraan menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan terhadap individu yang melakukan pelanggaran hukum serta bukan hanya merampas hilang kemerdekaannya tetapi juga merampas semuahak-haknya sebagai individu manusia dan menggunakan sistem tertutup yaitu menjauhkan narapidana dari masyarakat luar dan memutuskan hubungandengan masyarakat.Pemikiran-pemikiran baru yang mencegah pengulangan tindak kejahatan dan memperbaiki pelaku kejahatan, maka lahirilah suatu sistem pembinaan yang dikenal dengan Sistem Pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan adalah suatu susunan elemen yang berintegrasi yang membentuk suatu kesatuan yang integral membentuk konsepsi tentang perlakuan terhadap orang yang melanggar hukum pidana atas   dasar pemikiran rehabilitasi, resosialisasi, yang berisi unsur edukatif, korektif, defensif dan yang beraspek individu dan sosial.
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.
Lokasi Penelitian
Untuk mempermudah pengumpulan data sesuai dengan permasalahan yang penulis teliti, maka penulis melakukan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Wirogunan Yogyakarta, yaitu di jalan Taman Siswa Nomor 6 Yogyakarta.
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber  data sekunder.
Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari literatur yang mendukung. Sumber data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Bahan Hukum Primer
Undang-Undang No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi (LN 19 tahun 1971).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana
Bahan Hukum Sekunder
Buku tentang pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara.
Buku bacaan lain yang mendukung penelitian.
Bahan Hukum Tersier
Berupa kamus hukum dan literatur lainnya yang mendukung penelitian.
Narasumber
Narasumber dalam penelitian ini adalah Kepala Seksi Pembinaan Narapidana dan Anak Didik  atau disingkat Kasie Binapi yaitu Desy Afnliza. SH dan staf yang terkait langsung dengan penelitian.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan penulis adalah dengan cara Studi Kepustakaan (library research). Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan bahan-bahan bacaan, termasuk peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan masalah di atas. Cara ini dimaksud untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, atau pendapat yang berhubungan dengan pokok permasalahan.
Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dianalisis secara deskriptif dan data yang diperoleh di lapangan akan dianalisis secara kualitatif yang artinya mengumpulkan sebanyak-banyaknya dilapangan kemudian dari data yang terkumpul dipilih mana yang relevan dan data yang tidak relevan. Data tersebut kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang didapat dengan studi kepustakaan agar permasalahan terjawab.

Sistematika Penulisan
Sistematika yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah yang mendasari pembahasan materi ini, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi di sampaikan dalam bab ini.
BAB II Tinjaan Umum Tentang Hukum Tindak Pidana Korupsi, di dalamnya terdiri dari sejarah  tindak pidana korupsi, jenis-jenis tindak pidana korupsi, serta penegakan  tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB III Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi, pada bab ini terdiri dari pidana dan pemidanaan yang bersifat umum, pidana dan pemidanaan tindak pidana korupsi, dan pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi..
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan yang terdiri dari mekanisme penjatuhan pidana penjara pengganti kerugian negara, pelaksanaan penjara pengganti kerugian negara, sertakendala-kendala dalam pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara dan upaya mengatasinya di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan.
BAB V Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran penulis terhadap hasil penelitian dan pembahasan.














BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA KORUPSI
Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi
Di Indonesia langkah-langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan perundang- undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan pada tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut :
Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:
Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang-orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi). Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).
Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.
Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut.
Masa Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang-Undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut Pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.Undang-Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961.
Masa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137.TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Di dalam Pasal tersebut dinyatakan, “ Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh Undang-Undang ditentukan lain.” Dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengatur lain daripada yang telah diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi Generali).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik-delik yang dilakukan oleh pejabat yang terkait dengan korupsi. Tetapi ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi.Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisi serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan berlakunya Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, maka ketentuan Pasal 209 KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388 KUHP, Pasal 415, Pasal 416 KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal 419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP, Pasal 434 KUHP dinyatakan tidak berlaku.
Perumusan tindak pidana korupsi menutur Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi) yang memenuhi unsur/elemen dari pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap Orang”, tidak ada keharusan Pegawai Negeri.Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau perkumpulan. Adapun perbuatan yang dilakukan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang terdapat Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999  adalah sebagai berikut:
Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.
Memperkaya orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi, di sini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.
Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beserta revisinya melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Secara substansi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam Undang-Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan telah pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang- undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu pengaturan mengenai peran serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama dengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset-aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan diuntungkan dengan penanda tangan konvensi ini. Salah satu yang penting dalam konvensi ini adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.
Jenis-jenis  Tindak Pidana Korupsi
Definisi mengenai tindak pidana korupsi dapat dipandang berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Darwan Prinst dalam tindak pidana korupsi terdapat pengelompokan jenis korupsi, yaitu:

Adminitrative Corruption
Adalah dimana segala sesuatu yang djlankan adala sesuai dengan hukum/peraturan yang berlaku. Akan tetapi individu-individu tertentu memperkaya dirinya sendiri.
Against The Rule Coruption
Artinya korupsi yan dilakukan adaah sepenuhnya bertentangan dengan hukum. Misalnya penyuapan, penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atausuatu korporasi.
Berbeda dengan jenis-jenis tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dapat dibedakan dari 2 segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif. Adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah:
Melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Dengan tujuan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukannya.
Memberi hadiah atau janji dengan mengingat kekuasaan atau wewenang pada jabatan atau kedudukannya.
Percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat.
Memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat.
Memberi sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Memberi janji.
Sengaja membiarkan perbuatan curang.
Sengaja menggelapkan uang atau surat berharga.
Sedangkan korupsi pasif, antara lain :
Menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat.
Menerima penyerahan atau keperluan dengan membiarkan perbuatan curang.
Menerima pemberian hadiah atau janji.
Adanya hadiah atau janji diberikan untuk menggerakkan agar melakukan sesuatu.
Menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 31 Thn 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsiada beberapa jenis tindakan yang dikategorikan sebagai tindak korupsi:
Perbuatan yang merugikan negara
Perbuatan yang merugikan negara, dapat dibagi lagi menjadi 2 bagian yaitu :
Mencari keuntungan dengan cara melawan Hukum dan merugikan negara. Korupsi jenis ini telah dirumuskan dalam Pasal Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) :
”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan yang paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
”Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang di maksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

Menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan negara. Penjelasan dari jenis korupsi ini hampir sama dengan penjelasan jenis korupsi pada bagian pertama, bedanya hanya terletak pada unsur penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana yang dimiliki karena jabatan atau kedudukan. Korupsi jenis ini telah diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut ;
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana dengan pidan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Suap-menyuap
Suap – menyuap yaitu suatu tindakan pemberian uang atau menerima uang atau hadiah yang dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.Contoh ; menyuap pegawai negei yang karena jabatannya bisa menguntungkan orang yang memberikan suap, menyuap hakim, pengacara, atau advokat. Korupsi jenis ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
Pasal 5 ayat (1) huruf aUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyalahgunaan jabatan
Dalam hal ini yang dimaksud dengan penyalahgunaan jabatan adalah seorang pejabat pemerintah yang dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan penggelapan laporan keuangan, menghilangkan barang bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan merugikan negara hal ini sebagaiamana rumusan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain undang-undang tersebut diatas terdapat juga ketentuan pasal – pasal lain yang mengatur tentang penyalahgunaan jabatan, antara lain:
Pasal 8Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 10 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 10 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pemerasan
Berdasarkan definisi dan dasar hukumnya, pemerasan dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kepada orang lain atau kepada masyarakat. Pemerasan ini dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) bagian berdasarkan dasar hukum dan definisinya yaitu :
Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah karena mempunyai kekuasaan dan dengan kekuasaannya itu memaksa orang lain untuk memberi atau melakukan sesuatu yang menguntungkan dirinya. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pemerasan yang dilakukan oleh pegawai negeri kepada seseorang atau masyarakat dengan alasan uang atau pemberian ilegal itu adalah bagian dari peraturan atau haknya padahal kenyataannya tidak demikian. Pasal yang mengatur tentang kasus ini adalah Pasal 12 huruf gUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pemerasan yang di lakukan oleh pegawai negeri kepada pegawai negeri yang lain. Korupsi jenis ini di atur dalam Pasal 12 huruf f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi yang berhubungan dengan kecurangan
Yang dimaksud dalam tipe korupsi ini yaitu kecurangan yang dilakukan oleh pemborong, pengawas proyek, rekanan TNI / Polri, pengawas rekanan TNI / Polri, yang melakukan kecurangan dalam pengadaan atau pemberian barang yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau terhadap keuangan negara atau yang dapat membahayakan keselamatan negara pada saat perang. Selain itu pegawai negeri yang menyerobot tanah negara yang mendatangkan kerugian bagi orang lain juga termasuk dalam jenis korupsi ini. Adapun ketentuan yang mengatur tentang korupsi ini yaitu :
Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 12 huruf h Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan
Pengadaan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh suatu instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang ditunjuk untuk pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah melalui proses seleksi yang disebut dengan tender. Pada dasarnya proses tender ini berjalan dengan bersih dan jujur. Instansi atau kontraktor yang rapornya paling bagus dan penawaran biayanya paling kompetitif, maka instansi atau kontraktor tersebut yang akan ditunjuk dan menjaga, pihak yang menyeleksi tidak boleh ikut sebagai peserta. Kalau ada instansi yang bertindak sebagai penyeleksi sekaligus sebagai peserta tender maka itu dapat dikategorikan sebagai korupsi.
Hal ini diatur dalam Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsisebagai berikut :
”Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, seluruh atau sebagian di tugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.”

Korupsi yang berhubungan dengan gratifikasi (hadiah)
Yang dimaksud dengan korupsi jenis ini adalah pemberian hadiah yang diterima oleh pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dan tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi. Gratifikasi dapat berupa uang, barang, diskon, pinjaman tanpa bunga, tiket pesawat, liburan, biaya pengobatan, serta fasilitas-fasilitas lainnya.
Korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menentukan :
“Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut di dugabahwa hadiah, tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan jabatannya.”



Penegakan Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Kepolisian Republik Indonesia
Pada dasarnya ruang lingkup tugas dan fungsi kepolisian selain diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga diatur dalam Undang-Undang No2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi salah satu poin dalam Instruksi Persiden No 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi menginstruksikan (Kepala) Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk:
Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang Negara.
Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang, dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum.
Meningkatkan kerjasama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi.
Secara khusus tugas dan fungsi kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana korupsi adalah dalam bidang penyelidikan dan penyidikan. Pasal 1ayat butir 5 KUHAP  menyatakan, bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Tindakan penyelidikan ini dilakukan oleh penyelidik, yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini (KUHAP) untuk melakukan penyelidikan.
Kewenangan penyelidikan antara lain adalah menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Selain itu menurut Pasal 5 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atas perintah penyidik penyelidik dapat melakukan tindakan  sebagai berikut:
Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
Pemeriksaan dan penyitaan surat;
Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Adapun arti penyidikan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat butir 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurutcara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tindakan penyidikan tersebut dilakukan oleh penyidik, yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, hal ini terdapat dalam Pasal 1butir 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Penyidik dalam melakukan tindakan hukum berupa penyidikan menurut Pasal 5 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diberikan beberapa wewenang,yaitu:
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
Mengadakan penghentian penyidikan;
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dalam kaitannya dengan penanganan tindak pidana korupsi dua tindakan hukum itu hanya dapat dilakukan oleh kepolisian jika sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu Kepolisian baru memiliki kewenangan hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi jika:
Tidak melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara;
Perkara korupsi tidak mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
Tidak menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Menurut Mahrus Ali di dalam bukunya Asas Teori Dan Praktik Hukum Pidana Korupsi, pengananan tindak pidana korupsi dalam praktik oleh kepolisian Negara Republik Indonesia, umumnya syarat yang diikuti hanyalah syarat pada poin c diatas, yakni perkara korupsi akan ditangani oleh kepolisian bukan komisi pemberantasan korupsi jika kerugian negara yang diduga diakibatkan oleh tindakan pelaku dibawah Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Keterlibatan aparat penegak hukum penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara sering kali tidak diikuti oleh kepolisian dalam melakukan tindakan hukum berupa penyelidikan dan penyidikan. Demikian halnya dengan poin b yakni perkara korupsi tidak mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, polisi tidak menjadikan hal itu sebagai dasar atau patokan boleh atau tidaknya perkara korupsi ditangani oleh institusi tersebut.
Kejaksaan Republik Indonesia
Kejaksaan adalah sebutan bagi institusi dengan sistem peradilan pidana yang memiliki fungsi menuntut dan membuat dokumen seperti dakwaan dan surat tuntutan. Jaksa adalah tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Pasal 30 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah mengatur ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan dibidang pidana,yaitu:
Melakukan penuntutan;
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, salah satu poin dalam Instruksi Presiden No5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi menginstruksikan kepada Kepala Kejaksaan (Jaksa Agung) Republik Indonesia untuk:
Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang Negara;
Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang, dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum;
Meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
Dalam penanganan tindak pidana korupsi kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia mempunyai prosedur dan mekanisme tahap pelaksanaan penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan, yaitu tahap penyelidikan, tahap penuntutan, tahap upaya hukum dan eksekusi.
Tahap penyelidikan
Laporan tentang dugaan tindak pidana korupsi yang memiliki indikasi kuat adanya tindak pidana korupsi akan di tindak lanjuti dengan membentuk tim penyelidik yang disertai dengan Surat Perintah Operasi Intelejen Yustisial. Tim yang dibentuk beranggotakan beberapa jaksa dengan jumlah yang bervariasi  tergantung dari besar kecilnya kasus dan ketersediaan tenaga jaksa, dimana dalam prakteknya biasanya terdiri dari 3-5 jaksa. Setelah tim terbentuk dengan koordinasi ketua tim diadakan pembahasan tentang dugaan tindak pidana korupsi tersebut dengan pembagian tugas masing-masing, termasuk didalamnya menyiapkan penyelidikan dan perencanaan waktu tentang pemanggilan terhadap pihak-pihak yang diperlukan keterangannya. Pengumpulan data dan bahan keterangan ditingkat penyidikan hanya sebatas data sementara, artinya data yang terhimpun belum merupakan alat bukti yang sah, demikian juga dengan Berita Acara Pemeriksaan belum bersifat pro yustisia, dan data-data berupa dokumen yang dihimpun biasanya baru berupa foto copy, karena dalam tahap penyelidikan belum dapat dilakukan penyitaan.
Tahap Penyidikan
Tahap Persiapan
Dugaan tindak pidana korupsi sebagai hasil penyelidikanyang dilakukan oleh bidang intelijen, diterima dibidang tindak pidana khusus dalam bentuk berkas hasil pengumpulan data berupa Berita Acara Pemeriksaan dan dokumen dokumen yang akan dijadikan sebagai alat bukti surat.
Tahap Pemeriksaan Saksi
Dalam pemeriksaan terhadap saksi dokumen yang diperlukan biasanya di cantumkan secara tegas dalam surat panggilan, sesuai dengan kapasitas saksi. Dokumen yang dibawa saksi akan disita untuk selanjutnya dipakai sebagai barang bukti.

Tahap Pemeriksaan Tersangka
Pemeriksaan tersangka mengacu pada alat bukti yang terhimpun, yang dalam perkara korupsi bukti dokumen sangat menentukan.Disamping itu karena tujuan penyidikan untuk menyelamatkan kekayaan negara, maka pemeriksavn terhadap tersangka selain ditujukan terpenuhinya rumusan delik, juga untuk mengembalikan kerugian negara.
Tahap Penyitaan
Penyitaan terhadap dokumen biasanya dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian dimintakan persetujuan penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya.
Tahap Pemberkasan
Setelah bukti berhasil dikumpulkan, maka akan di ekspose di hadapan pimpinan kejaksaan, untuk menentukan apakah hasilnya layak untuk ditingkatkan ke tahap penuntutan atau tidak.
Tahap Penuntutan
Pra Penuntutan
Kegiatan pra penuntutan pertama-tama jaksa penuntut umum meneliti kelengkapan berkas perkara dvri sudut formil maupun materiil, apabila berkas perkara dinyatakan lengkap, maka penyidik akan menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum.

Penuntutan
Kegiatan penuntutan diawali dengan Rencana Surat Dakwaan.Rencana Surat Dakwaan di susun dan dilaporkan secara berjenjang dengan tolok ukur jumlah kerugian negara, sebagaimana tahap penyelidikan dan penyidikan.
Persidangan
Persidangan perkara tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan persidangan perkara pidana yang lain.
Tahap Upaya Hukum dan Eksekusi
Ketika putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap,jaksa harus segera melakukan eksekusi. Tetapi jaksa harus menunggu petunjuk pimpinan secara berjenjang.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi, merupakan komisi independen yang bertujuan untuk mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi yang sulit diharapkan terwujudnya jika masih terus mengandalkan lembaga penegak hukum yang telah ada. Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya  aparat penegak hukum itu sendiri seringkali justru terlibat dalam praktik korupsi atas perkara yang mereka tangani.
Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa terdapat lima tugas Komisi Pemberantas Korupsi yang harus laksanakan, yaitu koordiasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Tugas-tugas tersebut agar berjalan efektif dapat mewujudkan tujuan dibentuknya, Komisis Pemberantasan Korupsi diberi kewenangan hukum yang secara eksplisit tercantum dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 8, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Pemberian wewenang yang sangat besar yang sangat besar kepada Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut memang dikhawatirkan dapat melahirkan masalah tumpang tindih tugas dan kewenangan dengan aparat lain, dalam hal ini aparat lain itu adalah yaitu Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia. Namun demikian hal ini terjawab dengan dicantumkannya ketentuan Pasal 11 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  yang secara eksplisit menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan melakukan penyelidikian, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi yang tertulis diatas harus didasarkan pada alasan-alasan sebagaimana tercatum dalam ketentuan Pasal 9, antara lain:
Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak di tindaklanjuti;
Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat di-pertanggungjawabkan;
Penanganan tindak pidana korupsi yang ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat di-pertanggungjawabkan.
Diluar ketentuan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai hubungan secara khusus dengan Kejaksaan dalam Penegakan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu berdasarkan: Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Republik Indonesia No.Kep-11121 2005; No.Kep-I AIJ.A 1121 2005 tentang Kerjasama Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Dalam keputusan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Republik Indonesia tersebut ditentukan mengenai kerjasama untuk saling membantu dalam pemberantasan korupsi secara optimal dan meningkatkan kapasitas serta kemampuan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan (Pasal 2), kerjasama saling membantu bersifat fungsional (pasal 3), kerjasama mengenai bantuan personal dan operasional (pasal 4).
Dengan adanya kerjasama Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana di atur dalam ketentuan-ketentuan yang diuraikan diatas, menunjukkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsidalam melaksanakan kewenangan kekhususannya berbeda dengan kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan.Komisi Pemberantaan Korupsi tidak melaksanakan kewenangan kekhususan yang luar bisa tersebut secara otoriter dalam pemberantasan korupsi, tetap masih memerlukan kerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan waalaupunberbeda kewenanganmasing-masing. Dengan demikian, dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang multi kewenangannya itu dengan adanya hubungan koordinasi dan supervisi yag  telah dikemukakan diataas menunjukkan supaya tidak ada lagi benturan-benturan atau saling tumpang tindih kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki kewenangan kekhususan tersebut dengan kewenangan Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga pemberantasan korusi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.










BAB III
PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Pidana dan Pemidanaan
Pengertian pidana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II Cetakan IX yaitu hukum kejahatan atau hukum untuk perkara kejahatan / kriminal .
Moelyatno membedakan istilah pidana dan hukuman. Beliau tidak setuju terhadap istilah-istilah konvensional yang menentukan bahwa istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah dihukum berasal dari perkataan wordtgestraf. Beliau menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk kata straf dan diancam dengan pidana untuk kata word gestraf. Hal ini disebabkan apabila kata straf diartikan hukuman, maka kata straf recht berarti hukum-hukuman. Menurut Moelyatno, dihukum berarti diterapi hukum, baik hukum perdata maupun hukumpidana. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang mempunyai arti lebih luas, sebab dalam hal ini tercakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata pidana, sebab ada istilah hukum pidana disamping hukum perdata seperti ganti kerugian berupa pembayaran sejumlah uang atau penyitaan barang.
Pada dasarnya berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pidana pokok itu terdiri atas:
Pidana mati;
Pidana penjara;
Pidana kurungan; dan
Pidana denda.
Adapun pidana tambahan dapat berupa:
Pencabutan dari hak-hak tertentu;
Penyitaan dari benda-benda tertentu; dan
Pengumuman putusan hakim.
Kemudian dengan Undang-Undang tanggal 31 Oktober 1946 Nomor 20, Berita Republik Indonesia II Nomor 24, Hukum Pidana Indonesia telah mendapatkan satu macam pidana pokok yang baru, yakni apa yang disebut pidana tutupan.
Selain pidana, dikenal pula pemidanaan, atau yang dimaksud sebagai pengenaan / pemberian / penjatuhan pidana. Pemidanaan lebih berkonotasi pada proses penjatuhan pidana dan proses menjalankan pidana, sehingga ada dalam ruang lingkup Hukum Penitensier. Kedua persoalan itu (pidana dan pemidanaan) sangat penting dikaji, selain memiliki makna sentral sebagai bagian integral dari substansi Hukum Pidana, sekaligus memberi gambaran luas tentang karakteristik Hukum Pidana.
Negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:
Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri;
Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan;
Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana dikenal ada tiga aliran yaitu:
Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden / imbalan)
Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban.
Relative atau doel theorieen (doel / maksud, tujuan)
Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari manfaat daripada pemidanaan (nut van de straf) .
Vereningings theorieen (teori gabungan)
Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan dari pada hukum. Dengan demikian, teori gabungan ini berusaha memadukan konsep-konsep yang dianut oleh teori absolut dan teori relatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan yaitu disamping penjatuhan pidana itu harus membuat jera, juga harus memberikan perlindungan serta pendidikan terhadap masyarakat dan terpidana dengan cara rehabilitasi.
Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun1970-an telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman.
Terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi lahir “Model Keadilan” sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desertmodel) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan. Konsep tersebut secara lebih rinci dinyatakan oleh Muladi bahwa restorative justice model mempunyaibeberapa karakteristik yaitu :
Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;
Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;
Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupunpenyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana di dorong untuk bertanggung jawab;
Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis;dan
Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Pidana dan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi
Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-Undang yang mengatur masalah korupsi sebelumnya UU No 3 Tahun 1971 yaitu:
Menentukan ancaman pidana minimum khusus;
Pidana denda yang lebih tinggi;
Ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.
Selain dibekali dengan ancaman pidana pokok penjara dan denda dengan minimal khusus dan maksimal, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juga dibekali dengan pidana tambahan, hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 17 jo Pasal 18 Undang-Undang 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa selain dapat dijatuhi hukuman pidana pokok terdakwa dalam perkara korupsi dapat dijatuhi pidana tambahan.
Tujuan pengenaan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi adalah untuk mengembalikan uang negara yang timbul dari kerugian negara akibat dari tindak pidana korupsi tersebut, memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi, dan menjadikan langkah pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga mampu menangkal terjadinya tindak pidana korupsi. Pada dasarnya ancaman pidana minimum khusus merupakan penyimpangan dari ketentuan yang terdapat dalam Bab I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan adanya ancaman pidana minimum khusus, dapat dihindari keleluasaan diskresi dari penuntut umum dalam menetapkan tuntutannya, juga hakim dalam penjatuhan pidana. Ini berarti mencegah atau mengurangi ketidakadilan dalam  penetapan tuntutan pidana dan besar kemungkinan terjadi disparitas pidana. Disparitas pidana yang dimaksudkan disini adalah penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang bersifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa disertai dasar pertimbangan atau penalaran yang sahih.
Mengenai pidana pokok, walaupun jenis-jenis pidana dalam hukum pidana korupsi sama dengan hukum pidana umum, tetapi sistem penjatuhan pidananya ada kekhususan jika dibandingkan dengan hukum pidana umum, yaitu sebagai berikut :
Dalam hukum pidana korupsi dua jenis pidana pokok yang dijatuhkan bersamaan dibedakan menjadi dua macam.
Penjatuhan dua jenis pidana pokok yang bersifat imperatif, antara pidana penjara dengan pidana denda. Dua jenis pidana pokok yakni penjara dan denda wajib kedua-duanya dijatuhkan serentak. Sistem imperatif-kumulatif diancamkan pada tindak pidana korupsi yang paling berat.
Penjatuhan dua jenis pidana pokok serentak yang bersifat imperatif dan fakultatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda. Di antara dua jenis pidana pokok ini yang wajib dijatuhkan ialah pidana penjara (imperatif), namun dapat pula dijatuhkan secara kumulatif dengan pidana denda (fakultatif) bersama-sama (kumulatif) dengan pidana penjara. Jadi khusus untuk penjatuhan pidana bersifat fakultatif yang jika dibandingkan dengan KUHP sifat penjatuhan pidana fakultatif ini hanya ada pada jenis-jenis pidana tambahan. Sistem imperatif fakultatif (penjaranya imperatif, dendanya fakultatif) ini disimpulkan dari dua kata yakni “dan atau” dalam kalimat mengenai ancaman pidana dari rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Disini hakim bisa memilih antara menjatuhkan bersamaan dengan pidana denda (sifaat fakultatif). Sistem penjatuhan pemidanaan imperatif-fakultatif ini terdapat pada tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 3, Pasal 5,Pasal 7, Pasal10,Pasal11,Pasal13, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24.
Sistem pemidanaan pada tindak pidana korupsi menetapkan ancaman minimum khusus dan maksimum khusus, baik mengenai pidana penjara maupun pidana denda dan tidak menggunakan sistem dengan menetapkan ancaman pidana maksimum umum dan minimum umum seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Maksimum khusus pidana penjara yang diancamkan jauh melebihi maksimum umum dalam KUHP 15 (lima belas) tahun, yakni paling tinggi sampai 20 (dua puluh) tahun. Dalam KUHP boleh menjatuhkan pidana penjara sampai melebihi batas maksimum umum 15 (lima belas) tahun yakni 20 (dua puluh) tahun, dalam hal bila terjadi pengulangan atau perbarengan (karena dapat ditambah dengan sepertiganya) atau tindak pidana tertentu sebagai alternatif dari pidana mati (misalnya pasal 104, 340, 365 (4).
Dalam hukum pidana korupsi tidak mengenal pidana mati sebagai suatu pidana pokok yang diancamkan pada tindak pidana yang berdiri sendiri. Akan tetapi, mengenal pidana mati dalam hal bila tindak pidana tersebut Pasal 2 terdapat adanya alasan pemberatan pidana. Jadi, pidana mati itu adalah pidana yang dapat dijatuhkan jika ada alasan pemberatan pidana, yaitu apabila melakukan tindak pidana korupsi Pasal 2 dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu tersebut dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 2 ayat(2), yaitu “bila dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku; pada waktu terjadinya bencana alam nasional; sebagai pengulangan; atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter”.
Sistem pemidanaan hukum pidana formil korupsi yang mengancam dengan pidana penjara kumulatif dengan denda atau pidana penjara kumulatif-fakultatif dengan denda, baik pada maksimum khusus maupun minimum khusus tidak berlaku apabila nilai objek tindak pidana korupsi  tersebut Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 kurang dari Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Untuk nilai objek tindak pidana korupsi kurang dari Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) ini ancaman pidananya ialah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Jadi meniru sistem penjatuhan pidana hukum pidana umum  dalam KUHP.
Berbeda dengan uraian diatas, adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi. Nampaknya pembentuk undang-undang tindak pidana korupsi menyadari sepenuhnya bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh orang tetapi juga oleh korporasi, melalui pengurusannya yang akhir-akhir ini semakin tinggi intensitasnya dengan berbagai modus operandi.Bahkan korporasi yang dimaksud tidak hanya berbadan hukum tetapi juga yang tidak berbadan hukum. Sebagaimana termaktub dalam penjelasan umum bahwa “perkembangan baru yang diatur dalam tindak pidanakorupsi yang dapatdikenakan saksi hal ini diatur sebelumnya dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun jenis korupsi yang dapat dilakukan subjek korporasi adalah seperti yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) danayat(3)Undang-Undang Nomor 31 tahun 1991 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 2 ayat 1 berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, ......”
Pasal 2 ayat 3 berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,.....”

Berbeda dengan subjek dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang, dimana sanksi pidana yang dapat dijatuhkan berupa : hukuman mati, seumur hidup, penjara dan denda. Sedangkan subjek pelaku korupsi adalah korporasi, pidana pokok yang dapat dijatuhkan hanya pidana denda. Selain pidana pokok yang dijatuhkan pada korporasi, juga pidana tambahan sebagaimana halnya pelaku korupsi adalah orang yaitu tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, serta pengumuman putusan hakim.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.31 Tahun 1999, jenis penjatuhan pidanayang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
Pidana Mati
Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 yang dilakukan dalam “keadaan tertentu”. Adapun yang dimaksud “keadaan tertentu” adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu bencanaalam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat Negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).
Salah satu perubahan yang dilakukan oleh Undang-Undang No.20 Tahun 2001 terhadap Undang-Undang No.31 Tahun 1999adalah perubahan penjelasan Pasal 2 ayat (2). Sesudah diadakan perubahan, penjelasan Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam Pasal 2 ayat (2) adalah keadaan yang dapat dijadikan alas an pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila:
Tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi:
Penanggulangan keadaan bahaya;
Bencanaalam nasional;
Penanggulangan akibat kerusuhan social yang meluas;
Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.
Pengulangan tindak pidana korupsi
Adapun yang dimaksud dengan “keadaan bahaya” dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) sudah tentu keadaan bahaya seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1960 tentang Keadaan Bahaya. Kapan terjadi bencanaalam nasional atau kerusuhan sosial yang meluas atau krisis ekonomi dan moneter seperti disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) tersebut, sampai saat sekarang belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk menyatakan adanya keadaan tersebut.Atas dasar pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sudah cukup dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia yang menyatakan telah terjadi bencana alam nasional atau kerusuhan sosial yang meluas atau krisis ekonomi moneter.
Istilah “pengulangan” dalam Pasal 2 ayat (2) menurut hemat penulis adalah samaartinya dengan recidivie dalam ilmu hukum pidana. Namun tenggang waktu selama 5 (lima) tahun yang ditentukan dalam Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488 KUHP tidak berlaku untuk pengulangan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1).
“Keadaan terntentu” dengan perincian seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal2 ayat (2) tersebut merupakan pemberatan pidana yang hanya dijatuhkan khusus kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1). Oleh karena itu merupakan pemberatan pidana yang dapat dijatuhkan, maka terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidak perlu dibuktikan bahwa pelaku mengetahui adanya “keadaan tertentu” dengan perincian tersebut diatas pada waktu  melakukan tindak pidana korupsi.
Pemberatan pidana berupa pidana mati dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), jika tindak pidana korupsi dilakukan dalam “keadaan tertentu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).Berhubung yang digunakan adalah kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (2) maka penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut sifatnya adalah fakultatif. Artinya, meskipun tindak pidana korupsi dilakukan dalam “keadaan tertentu” sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat saja tidak dijatuhi pidana mati.

Pidana Penjara
Dalam Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Tahun 2001, pelaku tindak pidana korupsi diancam pidana penjara maksimal seumur hidup dan pidana denda maksimal Rp.1 000.000.000 (satu milyar rupiah).
Dalam Pasal 5 Undang-Undang No.20 Tahun 2001, pelaku tindak pidana korupsi diancam pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Dalam Pasal 6 Undang-Undang No.20 Tahun 2001, pelaku tindak pidana korupsi diancam pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000 ( seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000 ( tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Dalam Pasal 7 Undang-Undang No.20 Tahun 2001, pelaku tindak pidana korupsi diancam pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Dalam Pasal 8 Undang-Undang No.20 Tahun 2001, pelaku tindak pidana korupsi di ancam pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Dalam Pasal 9 Undang-Undang No.20 Tahun 2001, pelaku tindak pidana korupsi di ancam pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Dalam Pasal 10 Undang-Undang No.20 Tahun 2001, pelaku tindak pidana korupsi di ancam pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Dalam Pasal 11 Undang-Undang No.20 Tahun 2001, pelaku tindak pidana korupsi di ancam pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh  juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Dalam Pasal 12 Undang-Undang No.20 Tahun 2001, pelaku tindak pidana korupsi di ancam pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
Ketentuan tentang ancaman pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, dan 2 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari lima juta rupiah. Pelaku tindak pidana korupsi  diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Ini terdapat pada Pasal 12 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No.20 tahun 2001.
Pidana Tambahan
Pidana tambahan berupa:
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknyasama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama1 (satu) tahun.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidananya tersebut ditentukan dalam pengadilan.

Pidana Tambahan Dalam Tindak  Pidana Korupsi
Pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, serta pengumuman putusan hakim. Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tindak pidana korupsi juga mempunyai pidana tambahan khusus yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, yaitu:
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang mengantikan barang-barang tersebut;
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
 Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan Seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana;
Dalam hal terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu (1) satu bulan sesudah putusan pengadilan (Pasal 18 ayat (2)) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disitaoleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti (Pasal 18 ayat (3)), maka dipidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksmimum dari pidana pokoknya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam perkara korupsi harus dipahami sebagai bagian dari upaya pemidanaan terhadap mereka yang melanggar hukum. Dalam hal ini hukum yang dilanggar adalah hukum mengenai tindak pidana korupsi. Untuk memahami lebih lanjut tentang masalah ini ada baiknya mengingat kembali konsep pemidanaan secara lebih lengkap. Secara umum pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Namun pemidanaan seperti pernah diungkapkan Lobby Lukman bertujuan untuk:
Mencegah agar orang tidak melakukan tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
Memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikan orang yang baik dan berguna.
Menyelesaikan konflik yang di timbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Membebaskan rasa bersalah pada narapidana.
Begitu juga dengan pidana pembayaran uang pengganti yang merupakan pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi yang bertujuan untuk mengembalikan kerugian negaraakibat tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku, dan untuk memberikan efek jera agar pelaku tidak mengulangi kembali perbuatannya yang telah dilakukan. Pidana pembayaran uang pengganti, termasuk pidana tambahan yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Utrecht, ada tiga perbedaan antara hukuman utama dengan hukuman tambahan, yaitu:
Sesuai dengan kata tambahan dibelakang kata hukuman itu, hukuman tambahan hanya dapat ditetapkan disamping satu hukuman utama. Apabila hakim tidak dapat menetapkan satu hukuman utama, maka dengan sendirinyaia tidak dapat menetapkan pula satu hukuman tambahan.
Hukuman tambahan itu bersifat fakultatif. Apabila hakim yakin bahwa terdakwa bersalah, maka hakim harus menetapkan satu hukuman utama. Akan tetapi ia tidak wajib menetapkan satu hukuman tambahan, hakim itu bebas. Akan tetapi ada pengecualiannya yaitu dalam beberapa hal Undang-Undang Pidana menentukan perampasan barang itu secara imperatif. Jadi hakim harus menetapkan perampasan barang itu.
Hukuman tambahan pencabutan hak-hak tertentyu mulai berlaku tanpa terlebih dahulu diadakan satu perbuatan eksekusi.
Selanjutnya ditegaskan oleh Michael Barama, pidana tambahan ini memiliki beberapa perbedaan dengan pidana pokok, yaitu:
Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok adalah suatu keharusan atau imperatif, sedangkan penjatuhan pidana tambahan bersifat fakultatif. Apabila dalam suatu persidangan terbukti bahwa terdakwa bersalah secara sah dan meyakinkan maka hakim harus menjatuhkan salah satu pidana pokok sesuai jenis dan batas maksimum dari rumusan tindak pidana yang dilanggar tersebut. Sifat imperatif dapat dilihat pada rumusan tindak pidana pokok sehingga hakim mau tidak mau harus menjatuhkan pidana sesuai rumusan tersebut atau dapat juga tindak pidana yang diancam oleh dua atau lebih jenis pidana pokok sehingga hakim dapat memilih satu saja. Misalnya pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memilih jenis pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu antara empat (4) sampai dua puluh (20) tahun. Pada pidana tambahan hakim boleh menjatuhkan atau tidak pidana tambahan yang diancamkan terhadap si pelanggar, misalnya hakim dapat menjatuhkan salah satu pidana tambahan pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam hal terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Walaupun prinsipnya penjatuhan pidana tambahan adalah fakultatif tetapi terdapat beberapa pengecualian misalnya Pasal 250 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan pidana tambahan (berdiri sendiri) sedangkan pidana tambahan harus bersamaan dengan pidana pokok.
Jenis pidana pokok yang dijatuhkan bila telah mempuyai kekuatan hukum tetap diperlukan pelaksanaan, sedangkan pidana tambahan tidak. Pada pidana pokok  diperlukan eksekusi terhadap pencapaian pidana tersebut kecuali pidana pokok dengan bersyarat (pasal 14a) dan syarat yang ditentukan itu tidak dilanggar. Pada pidana tambahan misalnya pidana putusan hakim.
Pidana pokok tidak dapat dijatuhkan kumulatif, sedangkan pidana tambahan dapat. Akan tetapi dapat disimpangi pada beberapa Undang-Undnang termasuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada prakteknya, putusan pidana pembayaran uang pengganti bervariasi besarannya yang dapat disebabkan beberapa faktor antara lain seperti hakim memiliki perhitungan sendiri, sebagian hasil korupsi sudah dikembalikan atau tindak pidana korupsi dilakukan oleh lebih dari satu orang sehingga pidana pembayaran uang pengganti dibebankan bersama-sama.Kendala dalam penjatuhan pembayaran uang pengganti dalam rangka penyelesaian keuangan Negara pernah diungkapkan oleh Ramelan adalah:
Kasus korupsi dapat diungkapkan setelah berjalan dalam kurun waktu yang lama sehingga sulit untuk menelusuri uang hasil kekayaan yang diproleh dari korupsi.
Dengan berbagai upaya pelaku korupsi telah menghabiskan uang hasil korupsi atau mempergunakan/ mengalihkan dalam bentuk lain termasuk mengatasnamakan nama orang lain yang sulit terjangkau hukum.
Dalam pembayaran pidana uang pengganti, terpidana banyak yang tidak sanggup membayar.
Dasarnya pihak ketiga yang menggugat pemerintah atas barang bukti yang disita dalam rangka pemenuhan pembayaran uang pengganti.
Berkaitan dengan pembayaran uang pengganti seperti yang telah diuraikan  diatas, yang harus mengembalikan kerugian negara yang berupa penyertaan akibat tindak pidana korupsi dapat dilihat dari model pembebanan yang selama ini diterapkan oleh hakim dalam memutus perkara korupsi. Model pembebanan tersebut terdiri dari:
Pembebanan Tanggung Renteng
Tanggung renteng (tanggung menanggung bersama), yang lebih dikenal dalam ranah hukum perdata, adalah cara terjadinya suatu perikatan dengan jumlah subjek yang banyak. Dalam konteks hukum perdata, dikenal 2 (dua) bentuk tanggung-renteng yakni aktif dan pasif.Tanggung-renteng dapat dikatakan aktif apabila jumlah pihak yang berpiutang (kreditur) lebih dari satu, dan sebaliknya, tanggung-renteng pasif terjadi apabila jumlah pihak yang berutang (debitur) lebih dari satu.
Dengan model tanggung-renteng, majelis hakim dalam putusannya menyatakan para terdakwa dibebani pidana uang pengganti sekian rupiah dalam jangka waktu tertentu. Majelis hakim (negara) sama sekali tidak menghiraukan bagaimana cara para terdakwa mengumpulkan sejumlah uang pengganti tersebut. Entah itu ditanggung sendiri oleh salah satu terdakwa, atau di bagi berdasarkan porsi tertentu. Sesuai dengan spirit yang melatar belakangi konsep pemidanaan uang pengganti, negara hanya peduli bagaimana uang negara yang telah dirugikan dapat dikembalikan lagi.
Pembebanan Secara Proporsional
Pembebanan secara proporsional adalah pembebanan pidana uang pengganti dimana majelis hakim dalam amar putusannya secara definitive menentukan berapa besar masing-masing terdakwa penentuan jumlah uang pengganti tersebut didasarkan pada penafsiran hakim atas kontribusi masing-masing terdakwa dalam tindak pidana korupsi.Terkait pada prakteknya, kedua model terbut diatas diterapkan secaraacak tergantung penafsiran hakim. Ketidakseragaman ini kemungkinan besar terjadi terjadi karena tidak jelasnya aturan yang ada. Berdasarkan sifat masing-masing model, model proporsional memang yang paling minim memiliki potensi masalah yang akan dimunculkan.
Berbeda dengan model proporsional, model tanggung renteng berpotensi memunculkan masalah. Pertama, penerapan model ini dapat memunculkan sengketa perdata diantara terdakwa. Hal ini sangat mungkin terjadi karena dengan menetapkan beban uang pengganti kepada masing-masing terdakwa.Masing-masing terdakwa  bisa saja saling menuding dan mengklaim mengenai beberapa beban yang mereka harus tanggung. Bahkan, tidak menutup kemungkinan perselisihan ini akan bermuara di pengadilan, apabila salah satu atau keduanya pihak mengajukan gugatan perdata. Tidak menutup kemungkinan eksekusi pidana uang pengganti akan berlarut-larut dengan dalih menunggu putusan pengadilan atas gugatan perdata yang diajukan salah satu terpidana.
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melalui Pasal 18 ayat (2), memang menetapkan jangka waktu yakni 1 (satu) bulan bagi terpidana untuk melunasi pidana uang pengganti. Masih dalam ayat yang sama, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menyediakan cadangan pidana berupa penyitaan harta terpidana yang kemudian akan dilelang untuk memenuhi uang pengganti. Namun yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi adalah diantaranya :
Terdakwa sudah bangkrut ataupun pailit.
Barang yang di korupsi adalah barang bergerak yang sudah tidak berada dipihak terdakwa.
Barang yang dikorupsi sudah berpindah tangan pada pihak ketiga.
Apabila terdapat hambatan-hambatan seperti yang diuraikan diatas, makauntuk mengatasi hambatan tersebut dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undamg Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  ketentuan mengenai pembayaran uang pengganti  sangat tegas, yaitu apabila tidak dibayar dalam tempo 1 (satu) bulan, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan di lelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terhukum segera dieksekusi dengan memasukkannya ke dalam penjara.Hukuman penjara tersebut sudah ditentukan dalam putusan hakim, yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokoknya.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Meknisme Penjatuhan Pidana Penjara Pengganti Kerugian Negara
Eksekusi uang pengganti tidak memerlukan gugatan tersendiri. Pidana uang pengganti adalah satu kesatuan putusan pidana yang dijatuhkan majelis hakim. Wewenang eksekusi setiap putusan pidana ada pada Jaksa Penuntut Umum, Pelaksanaan putusan pidana tambahan pembayaran uang pengganti itu melalui beberapa tahapan kegiatan yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Tahap Penagihan
Untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi, pada tahap ini jaksa di samping melakukan penagihan juga menginventarisasi semua harta kekayaan terpidana beserta keluarganya. Tindakan ini dimaksudkan untuk menjaga agar semua barang atau harta kekayaan yang ada tidak di larikan atau di pindah tangankan kepada pihak ketiga.
Selama masa penagihan kepada terpidana diberi kesempatan untuk berusaha, yaitu dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan terhitung mulai sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila tenggang waktu yang diberikan habis dan terpidana atau ahli waris belum bisa memenuhi, maka jaksa masih dapat memberikan perpanjangan waktu selama 3 (tiga) bulan lagi. Selama tahap penagihan ini jaksa hanya mengawasi semua tingkah laku terpidana yang berhubungan dengan harta kekayaan, dan belum melakukan tindakan apapun. Setelah tenggang waktu terakhir habis, ternyata terpidana belum dapat memenuhi, maka jaksa akan melakukan penyitaan. Penyitaan tersebut terbatas pada jumlah harta kekayaan yang nilainya cukup untuk membayar kerugian (uang pengganti). Serta dikecalikan terhadap harta benda penyangga hidup keluarga. Ini berarti kepentingan terpidana beserta keluarga diperhatikan. Demikian pula seandainya setelah berusaha ternyata hanya cukup menutupi sebagian uang pengganti, maka sisanya dapat diambilkan dari harta kekayaan yang masih tersisa. Untuk selanjutnya harta sitaan tadi akan dijual melalui lelang di depan umum.
Dalam praktek terpidana atau ahli warisnya akan berusaha menutup uang pengganti sebelum jaksa melakukan penyitaan. Hal ini dapat dimengerti karena apabila di jual secara lelang maka harganya akan turun 25% (dua puluh lima persen) dari nilai benda sesungguhnya, sehingga terpidana menjadi rugi. Oleh karena itu biasanya terpidana berjanji akan membayar uang pengganti sebelum jaksa melakukan penyitaan.
Tahap pelelangan
Pelaksanaan lelang diatur dalam surat keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP- 089/J.A/8/1988 dan Surat Edaran Jaksa Agung tanggal 6 Agustus 1988, Nomor :SE- 03/B/B-5/8/1988, tentang : “penyelesaian Barang Rampasan”. Adapun tujuannya adalah seperti yang disebutkan dalam pertimbangan sub b: untuk mempermudah, memperlancar, dan mempercepat penyelesaian barang rampasan.
Ketentuan Umum
Tenggang waktu untuk menyelesaikan barang rampasan menurut Pasal 273 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP dibatasi selambat-lambatnya dalam masa 4 (empat) bulan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Tenggang waktu tersebut mengikat dan merupakan kewajiban bagi jaksa untuk menaatinya.
Penyelesaian barang rampasan pada umumnya diselesaikan dengan cara dijual lelang melalui kantor Lelang Negara, kecuali untuk barang rampasan tertentu Jaksa Agung RI dapat menetapkan lain, yaitu digunakan bagi kepentingan negara, kepentingan sosial atau dimusnahkan. Terutama terhadap barang rampasan dalam perkara penyelundupan yang dilarang untuk di import dan dilarang untuk di edarkan, dalam hal ini Jaksa Agung dapat menetapkan untuk kepentingan negara, sosial atau dimusnahkan. Tindakan ini perlu di ambil untuk mengamankan dan atau m elindungi barang-barang yang telah diproduksi di dalam negeri.
Setiap satuan barang rampasan dalam suatu perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam tenggang 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diterima, sudah harus dilimpahkan penanganannya oleh bidang yang menangani sebelum  menjadi barang rampasan kepada bidang penyelesaian yang berwenang, dengan melampirkan salinan putusan atau extract vonnis dan pendapat hukum. Pelimpahan dilakukan dengan suatu berita acara.
Ijin lelang dan pendapat hukum
Untuk dapat menjual lelang barang rampasan diperlukan ijin yang diberikan oleh:
Kepala Kejaksaan Negeri apabila dasar barang rampasan yang ditentukan instansi yang berwenang (instansi berkaitan dengan jenis barang rampasan) diperkirakan tidak melebihi harga Rp.25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
Kepala Kejaksaan Tinggi, apabila harga dasar barang rampasan diperkirakan diatas Rp.25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) sampai dengan Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Jaksa Agung Muda bidang penyelesaian barang rampasan apabila harga dasar barang rampasan diperkirakan diatas Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Sebelum diterbitkan ijin untuk menjual lelang, oleh Kepala Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung sesuai wewenang masing-masing perlu permohonan surat ijin untuk menjual lelang barang rampasan, yang di tujukan kepada:
Kepala Kejaksaan Negeri oleh bagian yang berwenang menyelesaikan barang rampasan atau Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.
Kepala Kejaksaan Tinggi oleh Asisten bidang yang berwenang atau kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.
Jaksa Agung Muda yang berwenang menyelesaiakan barang rampasan oleh Kepala Kejaksaaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.

Permohonan ijin menjual lelang harus dilampiri surat-surat:
Turunan oputusan pengadilan atau extract vonnis , yang membuktikan bahwa barang bukti telah dinyatakan di rampas untuk negara.
Keterangan yang jelas mengenai macam, jenis, jumlah, berat dan sebagainya dari barang rampasan.
Keterangan mengenai keadaan barang rampasan, setelah dilakukan penelitian di tempat.
Perkiraan harga dasar yang wajar yang didasarkan pada keadaan barang.
Pendapat hukum dari bidang yang menangani sebelum menjadi barang rampasan, yang berisikan:
Bahwa putusan pengadilan sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Bahwa barang rampasan tidak dijadikan bukti dalam perkara lain.
Bahwa barang rampasan tidak akan dijadikan bukti dalam perkara perdata atau dituntut oleh pihak ketiga.
Penentuan keadaan barang dilakukan oleh seorang ahli dalam bidangnya, dan dibuat secara tertulis.
Penentuang harga dasar dilakukan oleh seorang ahli, berdasarkan keadaan barang.
Tenggang waktu penutupan lelang :
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah barang rampasan diterima Bidang yang berwenang menyelesaikan barang rampasan di Kejaksaan harus mengajukan ijin untuk menjual lelang, dipergunakan bagi kepentingan negara atau sosial atau dimusnahkan kepada Jaksa Agung RI atau Kepala Kejaksaan Tinggi, dengan melampirkan semua dokumen atau surat seperti yang di sebut pada butir 3.
Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah menerima surat ijin lelang, dipergunakan untuk kepentingan negara atau sosial atau dimusnahkan, Kajari sudah memberikan putusan untuk pelaksanaan menjual lelang atau untuk kepentingan negara atau sosial atau dimusnahkan.
Sebelum memberi keputusan, apabila dipandang perlu asisten yang berwenang dapat minta pendapat hukum kepada asisten yang menangani sebelum barang-barang rampasan, dan pendapat hukum diberikan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah permintaan diajukan.
Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah menerima surat ijin lelang atau dipergunakan untuk negara atau sosial atau dimusnahkan, tembusannya dikirim kepada jaksa Agung Muda bidang penyelesaian barang rampasan dan selanjutnya Kejati sebagai pengendali akan memberikan petunjukn atau rekomendasi.
Apabila dipandang perlu Jaksa Agung Muda bidang penyelesaian barang rampasan dapat minta pendapat hukum kepada Jaksa Agung Muda yang menangani sebelum menjadi barang rampasan, dan pendapat hukum diberikan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah permintaan diajukan.
Terdapat putusan pengadilan secara in absentia harus di lampirkan bukti pengumuman di dalam harian yang menyatakan Putusan Pengadilan yang bersangkutan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (2) undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 yang menyebutkan bahwa tugas untuk mengumumkan putusan pengadilan di dalam harian dan dalam Berita Negara RI dilakukan oleh panitera pengadilan yang bersangkutan.
Terhadap barang rampasan yang termasuk dalam satu putusan pengadilan pada prinsipnya tidak diperkenankan dijual lelang secara terpisah-pisah, kecuali dalam keadaan mendesak, yaitu:
Barang sengketa dalam perkara perdata
Apabila dalam satu putusan pengadilan terdapat hubungan dengan perkara perdata, sambil menunggu putusan perdatanya dapat diajukan permohonan ijin untuk menjual lelang.
Barang yang dituntut oleh pihak ketiga
Apabila dalam satu putusan pengadilan terdapat barang rampasan yang dituntut pihak ketiga yang beritikad baik, sambil menunggu tuntutan barang rampasan lainnya dapat diajukan permohonan untuk menjual lelang.
Barang rampasan yang sebelumnya telah digunakan kepada salah satu bank dapat diajukan bagi kepentingan bank yang bersangkutan ke Kejaksaan Agung RI, dengan dilampiri bukti akad kredit dan bukti-bukti bangunan.
Apabila dalam satu pengadilan terdapat diantaranya barang rampasan terlarang atau dilarang import, penyelesaiannya dijual lelang. Dan barang-barang tersebut supaya dilaporkan ke Kejaksaan Agung RI untuk ditentukan lebih lanjut.
Apabila Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, atau cabang kejaksaan Negeri mempunyai rampasan yang berada diluar daerah hukumnya, maka permohonan ijin lelang di dahulukan dari yang lainnya, kecuali apabila akan dilelang bersama-sama dengan barang rampasan yang adala dalam wilayahnya.
Barang-barang rampasan dari beberapa putusan pengadilan, dapat dijual bersama-sama apabila penggabungaan tadi diperkirakan akan memberi hasil yang lebih baik dari pada jika dijual sendiri-sendiri. Atau jika barang-barang tadi dijual sendiri-sendiri tidak mungkin ada pembelinya karena jumlah barang yang terlalu sedikit. Dalam hal ini ijin menjual lelang diajukan sendiri-sendiri, tetapi pelaksanaannya dilakukan bersamaan.
Setelah diberikan keputusan ijin untuk menjual lelang barang rampasan, segera dilakukan pelelangan dengan perantara Kantor Lelang Negara sesuai dengan ketentuan berlaku. Tiga hari sebelum dilakukan pelelangan, Kejaksaan Negeri mengumumkan kepada masyarakat umum melalu surat kabar aatu media massa lainnya, yang menyatakan bahwa Kejaksaan Negeri akan melakukan pelelangan barang rampasan dengan disebutkan jenis dan jumlahnya. Hal ini dimaksudnkan agar mendapatkan penawaran harga yang paling baik.
Tahap pembayaran Uang Pengganti
Pelaksanaan pembayaran uang pengganti dilakukan dengan cara memperhitungkan jumlah uang penganti yang telah disebutkan dalam putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikurangi dengan hasil lelang. Apabila terdapat jumlah yang sama maka eksekusi dianggap selesai. Ada kemungkinan hasil lelalng ternyata lebih banyak dari pada uang pengganti yang ditentukan, maka sisanya kemudian akan dikembalikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Tetapi apabila hasil lelang ternyata tidak mencukupi untuk menutup uang pengganti, maka kekurangannya akan ditagih melalui gugatan perdata . Untuk selanjutnya jaksa melaporkan ke Kejaksaan Tinggi.
Tahap Gugatan perdata
Fatwa Mahkamah Agung RI tanggal 12 Januari 1988, Nomor 337/TYU/88/66/Pid menyebutkan bahwa pada hakekatnya pembayaran uang pengganti merupakan hutang yang harus di lunasi terpidana kepada negara.Sebagaimana layaknya hutang dalam hukum perdata, apabila tidak dapat dipenuhi maka dapat digugat secara perdata melalui pengadilan.
Upaya hukum gugatan perdata yang berkaitan dengan pengembalian/ pembayaran uang pengganti menurut surat edaran Jaksa Agung RI tanggal 5 agustus 1988, Nomor: SE-004/J-A/8/1988, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Staatblad 1922 No 552 (KUHPerdata) dan peraturan perundangan dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku. Gugatan perdata hanya ditujukan untuk kasus tindak pidana korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan yang telah dihentikan penyidikannya karena faktor –faktor lain tetapi nyata-nyata telah merugikan keuangan negara. Tujuan gugatan ini adalah untuk pengembalian keuangan negara yang menyangkut hukuman pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi sebagaimana di atur dalam pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971. Selain ditujukan pada uang pengganti yang kurang/ tidak dibayarkan terpidana, gugatan perdata juga dapat ditujukan terhadap pihak ketiga yang sengaja mau menyerahkan barang-barang hasil korupsi yang disimpan atau dikuasai olehnya.Dalam hal terpidana meninggal dunia, maka pembayaran uang pengganti berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Jaksa dapat melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan yang di tinggalkan terpidana kepada ahli warisnya. Penyitaan ini sebanyak-banyaknya sama dengan jumlah uang pengganti yang disebutkan dalam putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jika telah dilakukan upaya-upaya seperti diatas, ternyata pihak terpidana atau ahli waris  atau pihak ketiga karena alasan-alasan dapat dibenarkan hukum sudah tidak mampu lagi untuk membayar uang pengganti, Jaksa akan melaporkan ke Kejaksaan tinggi, selanjutnya Kejaksaan Tinggi dengan disertai saran dan pendapat akan meminta petujuk kepada Jaksa Agung. Jadi jika memang betul-betul tidak dilaksakan, eksekusi uang pengganti akan diserahkan menurut pertimbangan Jaksa Agung.
Dari apa yang telah diuraikan di atas dapat dilihat bahwa proses pelaksanaan atau eksekusi terhadap putusan pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi, memerlukan waktu yang relatif lama. Tahap eksekusi atau pelaksanaan pidana tambahan pembayaran uang pengganti oleh aparat eksekusi merupakan tahap yang cukup strategis sebagai upaya mengembalikan kerugian negara dan seringkali aparat eksekusi merasa tidak berdaya dalam melaksanakan putusan pidana tambahan pembayaran uang pengganti karena terbentur pada prosedur tetap yang harus dijalani. Prosedur yang terkesan rumit itu tentu saja sangat kontradiktif dengan misi yang emban oleh aparat eksekusi yaitu mengembalikan kerugian negara dalam waktu yang cepat dan dalam jumlah seoptimal mungkin.
Terhambatnya upaya eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti tentu saja tidak di harapkan oleh aparat eksekusi, yang dalam hal ini aparat kejaksaan republik indonesia. Salah satu tugas pokok aparat eksekusi adalah mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Untuk tujuan seperti itu pula, maka aparat kejaksaan berusaha dengan berbagai cara agar putusan pidana tambahan sesegera mungkin.
Proses eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang terkesan rumit itu membuat Jaksa kadang-kadang ragu-ragu untuk menuntut pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam tuntutan pidananya. Dalam rangka mengatasi kesulitan-kesulitan itu, Jaksa mencoba untuk keluar dari proses yang di rasakan tidak efektif dan efisien itu. Salah satu upaya terobosan yang pernah dilakukan oleh Jaksa adalah dalam rangka memulihkan kerugian negara secepat-cepatnya dengan cara tuntutan uang pengganti dilakukan berdasarkan Pasal 98 KUHAP. Pasal 98 KUHAP mengatur penggabungan tuntutan ganti rugi secara perdata dengan proses pidana yang sementara berlangsung. Jaksa lebih memilih jalan penggabungan ini dari pada harus menuntut pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Alasan Jaksa memilih penggabungan ini adalah:
Dari segi biaya perkara lebih mudah dan dapat menjadi beban dari yang bersalah atau terpidana.
Dari segi perkara lebih menjadi sederhana, yaitu tidak diperlukan lagi suatu proses perdata secara tersendiri.
Dari segi kecepatan perkara menjadi lebih cepat, yaitu adanya 2 (dua) perkara dapat diperiksa dan diputus sekaligus.
Mengenai batas waktu pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti diatur dalam Pasal 18 ayat (27) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang menyebutkan :
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 bahwa pembayaran uang pengganti harus dilaksanakan oleh terpidana paling lama dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan tersebut pula selanjutnya jaksa selaku pelaksana putusan pengadilan (Pasal270 KUHAP) akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Terpidanaakan dipanggil untuk membicarakan masalah pembayaran uang pengganti.
Melakukan negosiasi mengenai kesanggupan pembayaran uang pengganti dengan cara pembayaran yang dilakukan oleh terpidana secara bertahap.
Melakukan penelusuran dan penyidikan terhadap harta benda milik terpidana yang diduga diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Apabila dalam waktu yang telah ditentukan dan disepakati oleh jaksa dan terpidana pembayaran uang pengganti tidak dilaksanakan oleh terpidana, maka jaksaakan melakukan penyitaan terhadap harta benda milik terpidana dan mengajukan permohonan kepada Kantor Pelayanan Piutang dan lelang Negara (KP2LN) untuk melakukan lelang eksekusi terhadap barang yang disita tersebut.
Uang pengganti yang telah dibayarkan oleh terpidanaatau hasil dari lelang eksekusi selanjutnya oleh jaksa disetorkan kepada Kantor Kas Negara sebagai penerimaan negara dari pembayaran uang pengganti.
Setelah semua penyelesaian pembayaran uang pengganti telah dilaksanakan oleh jaksa, maka kemudian jaksa membuat laporan tentang penyelesaian pembayaran uang pengganti yang disampaikan kepada pengadilan.
Dari langkah-langkah tersebut diatas, tenggang waktu pembayaran uang pengganti atau disebut masa penagihan adalah1 (satu) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Apabila tenggang waktu yang diberikan habis dan terpidana belum bisa memenuhi, maka Jaksa masih dapat memberikan perpanjangan waktu lagi dengan cara negosiasi perundingan antara terpidana dengan Jaksa. Setelah tenggang waktu tersebut habis, tetapi terpidana belum bisa membayar uang pengganti tersebut, maka barulah jaksa melakukan penyitaan.
Tetapi perlu diperhatikan juga dalam Pasal 18 ayat (3) undang-undang Nomor 31 tahun 1999 menegaskan bahwa:
“ dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (10 huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketetapan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”.

Pasal  18 ayat (3) diatas menyatakan bila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi maka dikenakan pidana penjara. Lamanya pidana penjara tersebut oleh Pasal 18 ayat (3) ditentukan : “sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”, artinya pada waktu pengadilan menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, di dalamputusan pengadilan tersebut sudah ditentukan ataudicantumkan lamanya pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap terpidana jika terpidana tidakmempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti. Adapun pidana penjara pengganti kerugian negara dalam pasal tersebut terlihat terdapat tiga syarat:
Pidana penjara pengganti baru berlaku dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti. Terpidana dalam waktu 1 (satu) bulansetelah putusan meperoleh kekuatan hukum tetap ternyata tidak mempunyai lagi uang tunai untuk membayar uang pengganti, juga hasil lelang dari harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti.
Lamanya pidana penjara pengganti tidak melebihi ancaman pidana maksimum dari pasal Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dilanggar terdakwa
Lamanya pidana penjara pengganti telah ditentukan dalam putusan pengadilan. Dengan adanya ketentuan tersebut maka juga menjadi kewajiban hakim dalam putusan untuk mencantumkan pidana pengganti ini menghindari apabila uang pengganti tidak dapat dibayar seluruh atau sebagian.

Pelaksanaan Pidana Penjara Pengganti Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIa Wirogunan

Data Penghuni Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan terdiri dari pria dan wanita, dimana penghuni wanita ditempatkan di blok khusus wanita, ini juga karena tidak ada lembaga pemasyarakatan wanita di Yogyakarta.Untuk penghuni yang termasuk golongan anak-anak dipisahkan tempatnya dalam suatu kamar anak.
Pada gambaran ini diambil data keadaan penghuni berdasarkan jenis kelamin, yaitu dari bulan januari sampai juni berikut dengan penambahan dan pengurangan narapidana karena pindahan, eksekusi jaksa, bebas murni, bebas bersyarat, cuti menjelang bebas, dan pindah.

TABEL I.I
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan
BULAN
ISI AWAL BULAN

TAMBAH

KURANG
ISI AKHIR BULAN

PINDAHAN
EKSEKUSI JAKSA
BEBAS MURNI
PB
CMB
CB
PINDAH


P
W
P
W
P
W
P
W
P
W
P
W
P
W
P
W
P
W

JANUARI
309
21
309
21
17
5
-
-
3
-
1
-
1
-
7
-
304
26

FEBRUARI
304
26
304
26
3
-
1
-
8
2
3
-
2
-
1
-
289
21

MARET
289
21
289
21
13
1
-
-
10
2
-
-
-
-
4
-
284
20

APRIL
284
20
284
20
33
4
2
-
11
2
1
-
5
-
-
-
298
22

MEI
298
22
298
22
20
-
-
-
11
2
-
-
1
-
-
-
295
19

JUNI
295
19
295
19
16
2
2
-
10
2
-
-
4
-
-
-
288
19

Berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber: Catatan Harian Subsie Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Tanggal 22 Juli 2013

Dari data catatan harian subsie registrasi diatas pada bulan juni terdapat 288 penghuni laki-laki dan 19 penghuni perempuan yang terdapat dalam LembagaPemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta. Dari jumlah tersebut didalamnya merupakan 15 penghuni dari narapidana Tindak Pidana Korupsi, yang dapat dirincikan 14 narapidana berjenis kelamin laki-laki, dan 1 narapidana berjenis kelamin perempuan.Berikut tabel narapidana tindak pidana korupsi.
Tabel 1.2
Daftar Nama Narapidana Tindak Pidana Korupsi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan
No
Nama
No Registrasi
Pidana
Subsider/Denda
Pidana Tambahan/ Uang Pengganti
Ekspirasi

1
Ir. Budianto Muchtar
BI 194/11
4 Tahun
6 Bulan / 200 Juta
2 Tahun/        Rp.3.813.508.750
20-08-2014

2
Bambang Suharto
BI 167/11
3 tahun
-
1 Tahun/ Rp.113.346.900
28-09-2013

3
Slamet Afandi
BI 166/11
3 tahun
1 Bulan / 150 Juta
-
20-09-2014

4
Sulaiman BA
BIII 08/13
3 Tahun
3 Bulan / 50 Juta
1 Tahun/ Rp.198.291.500
22-06-2013

5
Harijanto
BII A 65/12
1 Tahun
1 Bulan / 50 juta
-
19-09-2013

6
Ngadiman
BII A 68/12
1 Tahun
2 Bulan / 50 Juta
-
04-09-2013

7
Supriyantoro Dwi Widodo
BIII K 02/13
1 Tahun 6 Bulan
2  Bulan / 50 Juta
3Bulan/ Rp.53.119.485
19-03-2013

8
Saryono Spd
BIII K 01/13
3 Tahun
3 Bulan / 50 Juta
1 tahun/ Rp.165.868.588
25-01-2014

9
Padjo Edi Triono B.Sc
BI 37/13
1 Tahun 1 Bulan
3 Bulan / 50 Juta
(sudah membayar)
01-12-2013

10
Sukaji Ranuwiharjo
BI 13/13
1 Tahun 4 Bulan
3 Bulan / 50 Juta
-
15-02-2014

11
Ernaningsih
BI W 01/13
1 Tahun 6 Bulan
3 Bulan / 50 Juta
6Bulan/ Rp.86.900.000
25-02-2014

12
Drs Fachrusin Fatah
BI 29/13
1 Tahun 6 Bulan
6 Bulan / 50 Juta
1 tahun/ Rp.76.858.287
13-10-2014

13
Sutarno
BI 33/13
2 Tahun
2 Bulan / 50 Juta
6Bulan/ Rp.249.644.050
27-11-2014

14
R. Tutuka Danaupaya
BI 34/13
4 Tahun
6 Bulan / 200 Juta
3Bulan/ Rp.455.358.372
24-12-2016

15
Joko Ibnu M.B
BII A 30/13
1 Tahun
-
-
-

Sumber: Catatan Harian Subsie Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Tanggal 22 Juli 2013

Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan terdapat sebuah register yang dinamakan  Register B yaitu register narapidana yang diklasifikasikan berdasarkan lamanya putusan hakim, yang terdiri dari:
B.I yaitu untuk mencatat data/identitas narapidana/anak pidana yang dipidana lebih dari satu tahun.
B.II A yaitu untuk mencatat data/identitas narapidana/anakpidana yang dipidana lebih dari tiga bulan dan kurang atau sama dengan satu tahun.
B II.B yaitu untuk mencatat data/identitas narapidana/anak pidana yang dipidana kurang atau sama dengan tiga bulan.
B III yaitu untuk mencatat data/identitas Narapidana/anak pidana yang dipidana kurungan pengganti denda.
Dari keempat kategori/klasifikasi diatas hanya kategori B I dan B II. A yang bisa mendapatkan remisi, sedangkan B II.B dan B III tidak mendapatkan remisi dikarenakan tidak memenuhi syarat-syarat permberian remisi.
Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Terhadap Penjara Pengganti Kerugian Negara Narapidana Tindak Pidana Korupsi
Menurut Kasiebinapi Lembaga Pemasyarakatan Desy Afnaliza:
“pidana susider/denda  (pidana tambahan) dan uang pengganti sama-sama bisa dicicil, tetapi jika pidana denda bisa di kalkulasikan menurut seberapa besar uang yang bisa di bayar narapidana, kemudian di kalkulasikan menurut persentase dengan penjara yang harus di tempuhnya untuk memenuhi denda yang belum bisa dibayarkan. Tetapi jika uang pengganti dalam tindak pidana korupsi setelah di cicil tidak terbayarkan penuh, maka dianggap cicilan tersebut tidak ada, dan narapidana wajib melaksanakan penjara pengganti nya secara penuh dan tidak dapat di kalkulasikan seperti apa yang terdapat pada pidana subsider/denda”.
Jadi, uang pengganti harus dikembalikan secara utuh, jika tidak utuh maka dapat dikategorikan tidak membayar uang pengganti tersebut dan wajib melaksanakan penjara pengganti kerugian negara.
Pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara tindak pidana korupsi dalam Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan merupakan proses pemidanaan pada tahap paling akhir jika pembayaran uang pengganti tidak dibayarkan. Karena pidana penjara pengganti kerugian negara ini merupakan pidana yang menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi  pemidanaannya ditambahkan atau di jumlahkan kedalam pada pidana penjara pokoknya. Begitu juga pelaksanakaannya di Lembaga Pemasyarakatan terhadap narapidana yang bernama Budianto Muchtar.Budianto Muchtar merupakan terpidana tindak pidana korupsi dengan nomor registrasi BI 194/11, dengan pidana selama 4 (empat) tahun, subsidair 6 bulan/Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan dikenakan uang pengganti sebesar Rp.3.813.508.750 (tiga milyar delapan ratus tiga belas juta lima ratus delapan ribu tujuh ratus lima puluh rupiah) atau jika tidak dapat dibayar, maka dikenakan pidana pengganti kerugian negara selama 2 (dua) tahun.Budianto Muctar seharusnya  keluar dari Lembaga Pemasyarakatan  pada 20 Agustus2014, tetapi sehubungan dengan terpidana yang bersangkutan tidak dapat membayar  uang pengganti kerugian negara, maka hakim memberlakukan pidana penjara pengganti kerugian negara sebagai gantinya selama 2 (dua) tahun.Dalam prakteknya Budianto Muchtar juga tidak mendapatkan remisi mulai November 2012 pada pidana penjara pokoknya karena dalam Peraturan Pemerintah No.99 tahun 2012 tentang Perubahan KeduaAtas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, narapidana tindak pidana korupsi mendapat pengetatan sudah berlaku terhadap Budianto Muctar karena pada saat Peraturan Pemerintah tersebut di undangkan terpidana Budianto Muctar masih menjalani pidana penjara pokok. Adapun syarat untuk mendapatkan remisi menurut Peraturan Pemerintah No.99 tahun 2012 tentang Perubahan KeduaAtas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatanadalah berkelakuan baik, telah menjalani  masa pidana lebih dari 6 bulan , tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir, telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan dengan predikat baik, bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara yang dilakukannya, telah membayar lunas denda dan uang pengganti. Sementara itu terpidana Budianto Mucktar dinyatakan tidak membayar uang pengganti kerugian negara tersebut sehingga terpidana tidak mendapatkan hak remisi dikarenakan tidak memenuhi syarat yang berlaku.
Di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan proses pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara tidak terlepas dari proses pelaksanaan pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta, dilakukan beberapa tahap, yaitu:
Dalam tahap pertama Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan melakukan penelitian terhadap narapidana tentang sebab dilakukannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) masa pidananya. Masa ini juga merupakan masa orientasi berupa masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan yang dilakukan paling lama satu bulan, perencanaan program pembinaan, kepribadian dan kemandirian, pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian, dan penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal. Dalam tahap ini para narapidana mendapatkan pembinaan kepribadian diantaranya :
Pembinaan kesadaran beragama;
Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara;
Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan);
Pembinaan kesadaran hukum.
Pembinaan tersebut diatas dilakukan didalam Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan dengan pengawasan maksimum.

Pada tahap kedua dimana narapidana tersebut dianggap sudah mencapai cukup kemajuan maka kepada narapidana diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan ini dalam pengawasan medium security. Yang dimaksud dengan narapidana telah menunjukkan kemajuan disini adalah dengan terlihatnya keinsyafan, perbaikan diri, disiplin dan patuh pada peraturan tata-tertib yang berlaku di Lembaga. Tahap ini dilakukan setelah narapidana menjalani 1/3 (satu per tiga) sampai ½ (satu per dua) masa pidana. Di sini narapidana mendapatkan pembinaan kepribadian lanjutan serta pembinaan kemandirian yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan antara lain :
Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri;
Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil;
Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing;
Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri/ Pertanian/ Perkebunan dengan teknologi madya/ tinggi.
Tahap ketiga selanjutnya ialah tahap asimilasi yang dilakukan setelah menjalani 1/2 (satu per dua) dari masa pidana yang sebenarnya. Pelaksanaannya terdiri dari 2 (dua)  bagian yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan 1/2 (satu per dua) dari masa pidananya. Pada bagian ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan sistem pengawasan menengah (medium security). Bagian kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidananya. Dalam bagian lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum jika memenuhi syarat dan ketentuan mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, dalam hal ini peraturan yang berlaku adalah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan KeduaAtas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Tahap keempat atau tahap akhir dilaksanakan setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 (dua per tiga) masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi; pelaksanaan program integrasi, dan pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir,  yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Setelah tahap-tahap tersebut narapidana siap untuk dikembalikan ke masyarakat dan diharapkan menjadi manusia yang madiri, tidak melakukan tindak pidana lagi, serta dapat berperan aktif dalam masyarakat. Tetapi jika narapidana masih mempunyai kewajiban melaksanakan penjara pengganti kerugian negara, otomatis ketika tahap keempat sudah selesai dilaksanakan, akan ditambah lagi sesuai dengan ketentuan putusan pengadilan. Pada tahap inilah pelaksanaan penjara pengganti kerugian negara dilaksanakan.
Tahapan-tahapan pembinaan tersebut diatas juga mempengaruhi tempat pelaksanaan pembinaan narapidanadi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Wirogunan Yogyakarta, terdapat perbedaan tempat pelaksanaan pembinaan seiring berbedanya tahapan-tahapan pembinaan yang dilakukan oleh narapidana tersebut. Tempat pelaksanaan pembinaan berdasarkan tahapannya tersebut adalah sebagai berikut:
Pembinaan tahap awal dan tahap lanjutan dilaksanakan di LembagaPemasyarakatan.
Pembinaan tahap akhir dilaksanakan di luar Lembaga Pemasyarakatan oleh Balai Pemasyarakatan.
Dalam hal narapidana tidak memenuhi syarat-syarat tertentu, pembinaan tahap akhir Narapidana yang bersangkutan tetap dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan, hal ini juga berlaku untuk narapidana tindak pidana korupsi yang sedang menjalani pidanapenjarapengganti kerugian negara.
Wujud pembinaan narapidana penjara pengganti kerugian negara tindak pidana korupsi  di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan jugatidak berbeda dengan pembinaan narapidana korupsi tidak menjalani penjara pengganti kerugian negara ataupun tindak pidana yang lain pada umumnya,yaitu meliputi pendidikan umum, pendidikan keterampilan, pembinaan agama, pembinaan mental, pembinaan spiritual, sosial budaya, kunjungan keluarga, kesenian, kegiatan rekreasi (olahraga, hiburan segar, dan membaca), namun pada pembinaan narapidana penjara pengganti kerugian negaratindak pidana korupsi mendapat perhatian khusus yakni dengan pelaksanaan rehabilitasi. Adapun rehabilitasi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Rehabilitasi sosial
Memberikan penyuluhan-penyuluhan yang bertujuan agar mereka bisa kembali terjun kemasyarakat dan mendapat kepercayaan lagi oleh orang-orang dilingkungan sekitarnya.
Rehabilitasi Spiritual
Program ini bekerjasama dengan Departemen Agama (Depag) yaitu dengan mengadakan kegiatan-kegiatan ibadah seperti: shalat 5 waktu, setiap malam diadakan meditasi, jerit malam dan lain sebagainya. Anggota rehabilitasi ini terdiri dari psikolog, dan pekerja sosial.
Pada pelaksanaan pembinaan dan pembimbingannya di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan tersebut telah sesuai dengan tujuan pemasyarakatan sebagaimana telah diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah nomor 31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Tujuan pemasyarakatan berdasarkan pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan di atas meliuputi bidang sebagai berikut:
Ketakwaan kepada Tuhan yang maha esa
Kesadaran berbangsa dan bernegara
Intelektual
Sikap dan perilaku;
Kesehatan jasmani dan rohani;
Kesadaran hukum;
Reintegrasi sehat dengan masyarakat;
Keterampilan kerja; dan
Latihan kerja dan produksi.
Dalam praktiknya Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan membuat jadwal kegiatan pelaksanaan pembimbingan dan pembinaan narapidana penjara pengganti kerugian negara tindak pidana korupsi agar sesuai dengan tujuan pemasyarakatan diatas.Keseluruhan jadwal pelaksanaan pembimbingan dan pembinaan narapidana penjara pengganti kerugian negara tindak pidana korupsi tersebut dapat dilihat di bawah ini:
Tabel 1.3
Daftar Pelaksanaan Pembimbingan dan Pembinaan Narapidana Penjara Pengganti Kerugian Negara Tindak Pidana Korupsi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan

No
Jenis Kegiatan
Hari
Waktu

01
02
03
04

I

A
B
C
D

E
F
G
H
I

K

L
Ibadah Agama Islam
Jamaah Sholat Shubuh
Jamaah Sholat Dzuhur
Jamaah Sholat Ashar
Kultum ba’daSholat Dzuhur
Pengajian Rutin
Ibadah Sholat Jumat
Kajian tentang Dakwah
Kajian tentang Akhlak
Iqro” dan Tadarus
Latihan Da’i
Seni Hadroh
Hafalan Surat Pendek
Ibadah Luar Lapas
(asimilasi Sholat Jumat di Masjid Margoyoso)
Perayaan Hari Besar

Setiap Hari
Setiap Hari
Setiap Hari
Setiap hari

Selasa&Sabtu
Jum’at
Kamis
Minggu
Senin&Rabu
Senin
Kamis
Jum’at

Insidentil

04.15
12.00
15.00
12.15-12.30

09.00-.1100

09.00-.1100
13.00-14.30
13.00-14.30
09.00-11.00

II

A
B
C
D
E
F
G
Pembinaan Agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha.
Ibadah Kristen
Ibadah Katolik
Ibadah Oikumence
Ibadah Luar Lapas
Ibadah Hindu
Ibadah Budha
Perayaan hari besar keagamaan

Selasa& Minggu ke II
Sabtu & Minggu ke IV
Rabu & Minggu ke III
Minggu ke I dan ke III
Rabu
Selasa
Insidentil

09.00-11.00
09.30-11.00
09.00-11.00
07. 15-11.00
09.00-11.00
09.00-11.00

III

A
B
C
D
Pembinaan Olah Raga
Bola Voli
Tenis Meja
Bulu Tangkis
Senam

Senin dan Kamis
Jum’at
Rabu dan Sabtu
Rabu dan Sabtu

08.00-12.00
08.00-12.00
08.00-12.00
07. 15-08.00

IV

A
B
C
Pembinaan Kesenian
Drama/Teater
Musik/Menyanyi
Tari

Senin
Kamis
Menyesuaikan

09.00-11.30
09.00-11.30

V

A
B

C

D
E
F
Pendidikan Umum
Perpustakaan
Pendidikan Dan Keterampilan Menjahit Dan Bordir
Pendidikan S Fakultas Ekonomi Unwama
Pendidikan STE-YPPI-Jakarta
Penyuluhan
Kejar Paket A, B, C

Senin s/d Kamis
Senin s/d Kamis

Senin s/d Kamis

Senin
Insidentil
Insidentil

10.00-11.00
09.00-12.00

10.00-11.00

09.00-11.30
09.00-12.00
09.00-12.00

VI

A
B
Pendampingan Warga Binaan Pemasyarakatan
Pendampingan Anak
Pendampingan Warga Binaan Pemasyarakatan

Senin s/d Sabtu
Senin s/d Sabtu

09.00-13.00
09.00-13.00

Sumber: Petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta Bagian Sub-Binapi.

Tabel diatas dapat merupakan jadwal pembinaan dan pembimbingan terhadap narapidana penjara  pengganti kerugian negara yang juga merupakan jadwal pembinaan dan pembimbingan narapidana tindak pidana korupsi dan juga berlaku untuk narapidana tindak pidana umum.Hal tersebut diatas di jabarkan pula oleh Ibu Eti bahwa tidak ada perbedaan dalam jadwal pembinaan dan pembimbingan narapidana penjara pengganti kerugian negara dengan jadwal pembinaan dan pembimbingan narapidana tindak pidana yang lain. Perbedaannya hanya terdapat pada jadwal rehabilitasi khusus yang diadakan secara khusus dan diperuntukkan kepada narapidana tindak pidana khusus.
Narapidana tindak pidana korupsi  yang sedang menjalani masa pidana pengganti kerugian negarabenar adanya telah selesai kewajibannya menjalani pembinaan dan pembimbingan pada saat menjalani pidana penjara pokok, tetapi berkaitan dengan hal tersebut bahwa narapidana juga harus menjalani penjara pengganti kerugian negara, maka di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan tetap memberlakukan pembinaan dan pembimbingan tersebut di laksanakan atau ditambah.  Hal ini di pertegas dengan perrnyataan bapak Suwanjono, bahwa:
“pelaksanaan penjara pengganti kerugian negara tindak pidana korupsi  konsep dan penerapannya sama dengan penjara pokok,  yang berbeda hanya terdapat pada status narapidana dalam menjalani pidana.  Jadi pada saat ketika narapidana tindak pidana korupsi (penjara pokok) sedang melaksanakan pembinaan tadarus, maka narapidana pengganti kerugian negara juga melaksanakan pembinaan tadarus pula”.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa, walapun narapidana penjara pengganti kerugian negara sudah menjalani keseluruhan pidana penjara pokok dan keseluruhan pembinaan yang ada di dalamnya, narapidana penjara pengganti kerugian negara juga wajib mengikuti pembinaan seperti pada penjara pokok tahap ke empat atau pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi; pelaksanaan program integrasi, dan pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.Disamping itu penjara pengganti kerugian tindak pidana korupsi juga tidak mendapatkan pengurangan masa pidana seperti yang terdapat pada pidana penjara pokok, hal tersebut dikarenakan penjara pengganti pelaksanaannya harus penuh, dan tidak bisa dikurangi masa pidananya.
3. Hak-hak narapidana penjara pengganti kerugian negara
Dalam menjalani pidana, narapidana penjara pengganti kerugian negara juga mempunyai hak-hak seperti narapidana tindak pidana yang lain.Adapun hak tersebut adalah :
Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan.
Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.
Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
Menyampaikan keluhan.
Mendapat bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.
Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.
Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya.
Mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Hak-hak diatas merupakan hak narapidana penjara pengganti kerugian negara. Tetapi dapat dilihat bahwa terdapat beberapa perbedaan hak narapidana penjara pengganti kerugian negara dengan hak narapidana penjara pokok, yaitu terletak pada:
Dalam penjara pengganti kerugian negara, narapidana tidak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
Narapidana penjara pengganti krugian negara tidak Mendapat hak pembebasan bersyarat.
Narapidana penjara pengganti kerugian negara juga tidak mendapatkan hak cuti menjelang bebas.

C. Kendala-Kendala Dalam Pelaksanaan Pidana Penjara Pengganti Kerugian Negara dan Upaya Mengatasinya
Kendala dalam pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara
Berhubungan dengan kendala, maka penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai kendala yang paling klasik yaitu kendala yang berkaitan dengan penerapan dan pelaksanaan pidana uang pengganti. Kendala kendala tersebut diantara:
Kendala Yuridis
Masalah apabila terpidana meninggal dunia
Terdapat kendala-kendala yang dihadapi oleh Negara dalam menerapkan ketentuan uang pengganti seperti terpidana meninggal dunia. Dalam hal terpidana meninggal dunia, apabila ditinjau dari Undang undang No.3 Tahun 1971 maka tanggungan uang pengganti terpidana dapat diwariskan kepada keluarganya. Sedangkan dalam Undang Undang No. 31 Tahun 1999 apabila terpidana telah meninggal dunia maka tuntutan tersebut dianggap gugur demi hukum termasuk tanggungan uang penggantinya.
Regulasi belum jelas
Secara yuridis tidak mengatur secara jelas orang yang berniat membayar namun tidak mampu membayar sekaligus (cicil), hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 18 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 pada ayat (2) menyebutkan:
“Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.”
Jadi, yang dimaksud dalam pasal 18 ayat (2) tersebut adalah bahwa terpidana hanya diberikan jangka waktu 1 bulan untuk membayar uang pengganti tersebut. Jika terpidana tidak mampu membayar UP dalam waktu 1 bulan tersebut, maka dijatuhi hukuman subsider UP yakni kurungan badan (penjara) yang lamanya sudah ditentukan oleh putusan pengadilan.”
Kendala Non Yuridis
Masalah siapa yang ditugasi untuk menghitung kerugian negara
Akibat tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang tidak direncanakan secara baik, mucul persoalan kedua, yakni tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang. Seperti telah disinggung di atas, ketidakjelasan mengenai pengaturan ini berimplikasi terhadap semakin beratnya tugas hakim dalam menentukan berapa jumlah pidana uang pengganti yang harus ditetapkan. Permasalahan ini bersumber pada satu persoalan, yakni SDM dari hakim tersebut tidak yang memadai untuk mengcover masalah ini. Idealnya apabila menyangkut penghitungan jumlah kerugian maka harus dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kompetensi dan profesional di bidangnya, misalnya BPK atau kantor akuntan publik (auditor) yang memang bergerak dalam bidang ini. Selama ini efektivitas penerapan metode ini sangat bergantung pada perhitungan kerugian negara yang nantinya disertakan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ketidakcermatan dalam perhitungan kerugian negara justru dapat menyebabkan target pengembalian uang negara yang telah dikorupsi sulit tercapai.
Sulitnya mencari domisili terpidana
Kendala selanjutnya adalah keberadaan harta terpidana telah pindah domisili namun tidak diketahui keberadaannya. tidak ada database tentang aset seseorang, secara administratif pemerintahan kita belum menerapkan single identity.
Contoh : e-ktp. tujuannya agar lebih mudah dalam mencari identitas terpidana hanya dengan satu identitas dengan beberapa aset korupsi. kendala adalah sulitnya menemukan aset terpidana karena banyaknya identitas yang digunakan oleh para pelaku.

Persekongkolan antara terpidana dengan tim pemeriksa
Ada juga kendala lainnya seperti adanya persekongkolan antara  terpidana dengan tim pemeriksa harta kekayaan terpidana. Akibatnya terjadi manipulasi data yang menyatakan bahwa terpidana tidak memilki lagi harta kekayaan yang cukup untuk membayar uang pengganti.
Sudah barang tentu untuk dapat membawa harta atau aset koruptor kedalam sidang pengadilan, harus didahului dengan tindakan penyitaan oleh penyidik dalam tahap penyidikan. Aset koruptor yang disita penyidik itu oleh jaksa penuntut umum akan diajukan sebagai barang bukti kehadapan hakim dalam tahap penuntutan. Proses penyitaan ini adalah proses yang paling sulit dalam upaya pengembalian kerugian negara sebagaimana dikemukakan diatas. Banyak cara dan jalan yang bisa dipilih oleh koruptor untuk mengamankan hasil korupsi, dari yang paling sederhana sampai yang canggih dengan menggunakan rekayasa finansial (finansial engineering) yang tersedia dalam praktek bisnis didalam negeri maupun diluar negeri. Kesulitan itu menjadi bertambah, karena adanya tersangka, terdakwa, atau terpidana yang melarikan diri keluar negeri dan sudah tentu dengan membawa asetnya.
Berkaitan dengan hal diatas terdapat pula kendala dalam pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara dijelaskan oleh Suwanjono SH selaku Kepala Sub Seksi Bimbingan Pemasyarakatan dan Perawatan (BIMASWAT)  di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan menyatakan bahwa di lembaga Pemasyarakatan Wirogunan masih mengalami beberapa kendala yang harus diperhatikan dan di pecahkan permasalahannya dalam pelaksanaan penjara pokok tindak pidana korupsi, maupun pidana penjara pengganti kerugian negara. Kendala tersebut adalah terciptanya perbedaan kasta atau kurang berbaurnya antara narapidana tindak pidana korupsi (baik yang sedang menjalani pidana pokok maupun pidana pengganti kerugian negara) dengan narapidana yang lain. Hal ini juga ditambah dengan adanya perbedaan ruangan narapidana tindak pidana korupsi yang dibedakan dengan tindak pidana umum yang lain.
Permasalahan yang kedua adalah sulitnya melakukan pembinaan yang baik, hal ini dikarenakan narapidana mayoritas adalah pejabat dan berpendidikan tinggi, sehingga dalam pembinaan jika di gabungkan dengan  narapidana yang lain dengan latar belakang yang berbeda (pemerkosaan, pembunuhan, pencurian dll) akan lebih sulit jika dibandingkan pembinaan dengan latar belakang yang homogen.
Upaya-upaya yang telah ditempuh dalam mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara
Berdasarkan kendala-kendala diatas dalam upayanya Jaksa selaku penyidik, ketika penyidikan maka jaksa melakukan upaya untuk mengembalikan kerugian Negara dengan cara melakukan penyitaan. Jaksa berupaya untuk mencari harta terpidana untuk disita, guna sebagai jaminan untuk mengamankan aset tersangka. Pada saat dalam tahap persidangan jaksa selaku penuntut umum memperoleh informasi mengenai aset lain yang dimiliki oleh terdakwa, maka jaksa selaku ekskutor dapat menyita dengan persetujuan hakim untuk dikeluarkan penetapan untuk menyita harta si terpidana.
Pada saat telah dikeluarkan putusan berkekuatan hukuman tetap, jaksa selaku eksekutor mencari lagi hartanya untuk disita. Jadi mulai dari penyidikan, penuntutan, dan putusan ingkrah jaksa memiliki kewenangan untuk penyitaan. Terminology penyitaan bagi Jaksa ada 2 (tahap eksekusi) yaitu setelah putusan ingkrah, jaksa melakukan penyitaan harta mana saja, bertujuan untuk mengumpulkan aset terpidana dalam rangka untuk memenuhi uang pengganti (recovery asset), sedangkan penyitaan dalam proses penyidikan hingga penuntutan, penyitaan terbatas terhadap barang / aset yang berhubungan langsung dengan kejahatan. Tujuan dari penyitaan pada tahap ini adalah untuk mengamankan guna untuk jaminan tersangka sebagai bukti dari hasil kejahatannya
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka JPU segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata trhadapm ahli warisnya, sedangkan untuk ketidak jelasan alamat terpidana ataupun keberadaan harta terpidana maka jaksa bekerja sama dengan Kepolisian untuk menyelidiki keberadaan terpidana serta harta terpidana dan juga meminta bantuan dari masyarakat apabila sekiranya pernah mengetahui keberadaan terpidana yang dimaksud oleh JPU.
Upaya mengembalikan harta Negara apabila tersangka lari ke luar negeri dibentuk tim pemburu koruptor atau tim terpadu pencarian tersangka dan terpidana tipikor. jadi melalui berbagai sarana baik termasuk perjanjian ekstradisi, MLA (mutual legal assistance) perjanjian timbal balik, hubungan resiprositas serta hubungan bilateral dengan Negara terkait.
Upaya dalam mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan penjara pengganti kerugian negara di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan telah berupaya untuk mengatasi permasalahannya tersebut yaitu Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan bekerja sama dengan Lembaga Pemasyarakatan Suka Miskin di Bandung yang merupakan lembaga Pemasyarakatan khusus tindak pidana korupsi. Yaitu dengan cara mengirim narapidana tindak pidana korupsi yang rata-rata masa pidana penjaranya adalah 2 (dua) – 4 (empat) tahun, guna mendapatkan pembinaan yang lebih kompleks sesuai dengan tujuan pemidanaan. Sebagai contoh pada tanggal 19 januari 2013, 7 (tujuh) narapidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta dipindah ke Lembaga Pemasyarakatan Suka Miskin Bandung. Rata-rata latar belakang narapidana tindak pidana korupsi tersebut adalah anggota DPRD, pejabat dan pengusaha, dengan minimal sisa hukuman 12 (dua belas) bulan. Nama dari narapidana yang dipindah tersebut diantaranya adalah Edy Setiadarma, Rebino, Edi Bawono, Didit Abdul Madjid, Arif Edi Subianto, Cindelaras Yulianto, dan Bahtanisar Basyir.











BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hasil penelitian terhadap beberapa permasalahan menyangkut pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta, yaitu:
Penjatuhan pidana penjara pengganti kerugian negara tidak serta merta dapat langsung di terapkan. Adanya upaya yang baik dari Jaksa untuk memperoleh harta kekayaan negara yang telah diambil oleh narapidana. Upaya-upaya tersebut telah dimaksimalkan oleh jaksa dengan melakukan terobosan yang menggunakan Pasal 98 KUHAP yaitu dengan cara penggabungan tuntutan ganti rugi secara perdata dengan proses pidana yang sedang berlangsung.
Pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara tindak pidana korupsi dilaksanakan dengan cara pembinaan berdasarkan pada pasal 1 ayat 2 tentang Syarat  dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Hal ini tidak membedakan antara pelaksanaan pidana penjara pengganti kerugian negara tindak pidana korupsi dengan pelaksanaan pidana penjara pada umumnya, tetapi pada pelaksanaan penjara pengganti kerugian negara mempunyai kekhususan dalam rehabilitasi, yaitu rehabilitasi sosial dan rehabilitasi spiritual.
Adapun kendala-kendala dalam pelaksanaan pidana penjara di lembaga pemasyarakatan kelas IIA Wirogunan adalah diantaranya  perbedaan kasta, sehingga sering terjadi kurang berbaur antara narapidana tindak pidana korupsi dengan yang lain. Sedangkan kendala penerapan dan pelaksanaan uang pengganti  terdapat kendala yuridis diantaranya adalah terpidana meninggal dunia, regulasi belum jelas, dan kendala non yuridis diantaranya adalah mengenai siapa yang menghitung besaran uang pengganti terkait bahwa hakim kurang berkompeten untuk melaksanakan tugas itu, sulitnya mencari domisili tersangka, terdakwa, atau terpidana tindak pidana korupsi,  serta adanya persekongkolan terpidana dengan tim pemeriksa sehingga menyulitkan penegakan hukum.
B.  Saran
Berbagai permasalahan kerap menjadi penghalang dalam melaksanakan penjara ataupun melaksanakan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis dapat kemukakan beberapa saran sebagai upaya dalam mengurangi permasalahan, yaitu sebagai berikut:
Mekanisme penjatuhan pidana penjara pengganti kerugian negara dengan cara dan proses yang relatif lama akan membuat penegakan hukum juga akan terhambat.
Pemerintah dalam hal ini adalah Kementrian Hukum dan HAM harus lebih serius dalam menangani masalah dalam pemasyarakatan. Mengingat pemasyarakatan merupakan tonggak utama dalam merubah orang jahat menjadi orang baik seharusnya diapresiasi lebih karena hal ini merupakan tugas yang sangat berat. Terlebih dalam pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi karena tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang rentan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai peluang dan wewenang seperti bidang pelayanan masyarakat, pendapatan negara, penegak hukum, dan pembuat kebijakan sehingga sangat membutuhkan perhatian lebih agar pelaku korupsi kelak tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran hukum dan pendidikan rakyat. Hal ini sesuai dengan strategi yang diterapkan oleh negara-negara Afrika Bagian Selatan yang berbentuk piramida yang pada puncaknya adalah prevensi (pencerahan), sedangkan pada kedua sisinya masing-masing pendidikan masyarakat (public education) dan pemidanaan (punisment).
Khusus dalam pelaksanaan pembinaannya para narapidana korupsi harus lebih dalam menjalani pembinaan moral dan keagamaannya, hal ini dikarenakan jika narapidana mempunyai iman yang kuat, maka langkah tersebut menurut hemat penulis akan meminimalisir tingkat pengulangan tindak pidana.

Sumber penulis ='Putra Dwi Hartono.SH
Advokat / Pengacara / Lawyer
Hubungi kami= 082345752742
Dilarang meng copy / menduplikat / mengupload tanpa seizin dan sepengetahuan penulis.